Merah Tebal Rapor Polri Usai Diterpa Badai Sambo, Teddy dan Kanjuruhan
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo
D'On, Jakarta,- Rentetan kasus yang melibatkan personel Polri setahun terakhir bak badai besar yang menggoyahkan tubuh Korps Bhayangkara.
Kasus per kasus terkuak membuat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum tersebut merosot tajam. Rapor merah untuk Polri.
Mulanya, terungkap kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan jenderal bintang dua Polri, Ferdy Sambo pada Juli 2022.
Kala itu, Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dengan pangkat Inpekstur Jenderal. Sebagai petinggi Polri yang memiliki kuasa, Sambo membuat skenario merekayasa kematian Brigadir Yosua.
Upaya-upaya Sambo menghilangkan barang bukti dan membuat alibi demi menutupi kesalahannya membuat publik terkejut juga kecewa adanya rekayasa sebuah penyelidikan.
Sebanyak 97 anggota polisi terlibat dalam kasus tersebut, 35 di antaranya dinilai terbukti melakukan pelanggaran kode etik polri.
Tak tinggal diam, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung mengambil sejumlah keputusan guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri. Mulai dari mutasi besar-besaran hingga memberikan sanksi terhadap anggota yang terbukti terlibat.
Sambo ditetapkan sebagai tersangka. Ia lantas menjalani serangkaian persidangan hingga akhirnya divonis hukuman mati. Sambo juga dipecat dari Polri sebagai bentuk sanksi etik.
Di tengah upaya mengembalikan citra publik usai kasus Sambo, Polri justru kembali didera persoalan. Tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022.
Ratusan nyawa suporter sepak bola melayang akibat gas air mata yang ditembakkan oleh aparat dalam pertandingan Arema Malang melawan Persebaya Surabaya.
Kepolisian segera mengambil langkah untuk mengusut peristiwa itu. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, tiga di antaranya merupakan anggota Polri yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Masih di bulan Oktober 2022, jenderal bintang dua Polri justru kembali terlibat kasus hukum. Kali ini adalah Teddy Minahasa yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat berpangkat Inspektur Jenderal.
Ia terjerat dalam terkait kasus peredaran narkoba jenis sabu. Kasus ini juga turut melibatkan sejumlah personel kepolisian lainnya. Yakni AKBP Dody Prawiranegara, Kompol Kasranto, serta Aiptu Janto Parluhutan Situmorang.
Dalam kasus ini, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat menilai Teddy terbukti melakukan tindak pidana menawarkan untuk dijual, menjual, menjadi perantara dalam jual beli, menukar dan menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman, yang beratnya lebih dari 5 gram.
Teddy pun divonis hukuman pidana penjara seumur hidup. Sanksi etik dari Polri juga dijatuhkan terhadap Teddy. Ia disanksi PTDH atau pemecatan.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 11-20 September 2022, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri mengalami penurunan 13 persen, atau dari 72,1 persen menjadi 59,1 persen.
Kemudian, hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2022 juga menunjukkan citra Polri merosot 17,2 persen atau dari 65,7 persen menjadi 48,5 persen. Survei ini dilakukan pada periode Juni hingga Oktober.
Survei yang dilakukan oleh Populi Center pada periode 9-17 Oktober 2022 juga menunjukkan hal serupa. Hasil survei tersebut menemukan ada 58,5 persen koresponden yang memberi nilai 6-10 dalam skala 1-10 terhadap Polri, sedangkan 33,9 persen memberi nilai 1-5.
Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan survei pada Maret 2022. Saat itu, ada 67 persen responden memberi nilai 6-10 dan Juli 2022 ketika 64,4 memberi nilai 6-10.
Merosotnya tingkat kepercayaan publik ini pun segera direspons oleh Polri. Berbagai kebijakan ditempuh guna mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan tak hanya berbenah di internal, Polri juga melakukan upaya-upaya konkrit guna memperbaiki citranya, seperti berfokus pada pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Respons cepat terhadap panggilan darurat, penanganan kasus yang efisien dan menjalin hubungan baik dengan masyarakat.
"Kolaborasi dengan masyarakat, pengawasan internal yang ketat, peningkatan pelatihan dan profesionalisme, menggunakan teknologi modern dalam menjalankan tugas, transparansi dan akutabilitas, semua itu upaya yang dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan citra Polri," ungkap Ramadhan dilansir dari CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Hasilnya, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri pun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada Februari-Maret 2023, tingkat kepercayaan terhadap Polri berada di angka 70,8 persen.
Survei oleh Litbang Kompas pada 29 April-10 Mei 2023 juga menunjukkan hasil sama. Citra Polri tercatat naik sebesar 11,7 persen ke angka 62 persen jika dibandingkan pada Januari 2023.
Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik pun menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri juga meningkat. Berdasarkan survei yang dilakukan pada 11-17 April 2023 menujukan kepercayaan terhadap publik 73,2 persen dari yang sebelumnya sebesar 70,8 persen.
Upaya Perbaiki Citra dan PR yang Tersisa
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengamini kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa telah membuat kepercayaan publik terhadap Polri menurun drastis.
"Tetapi kesungguhan dan ketegasan Kapolri dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut cukup memulihkan kepercayaan publik," ucap dia, Kamis (22/6).
Poengky juga melihat masih ada masyarakat yang tak puas dengan kinerja Korps Bhayangkara. Kata dia, setidaknya ada lebih dari 3.000 pengaduan yang diterima Kompolnas tiap tahunnya terkait penegakan hukum.
"90 persen mengeluhkan kinerja reserse dan 75 persen di antaranya mengeluhkan pelayanan buruk penyidik, mayoritas penyelesaian kasus yang terkatung-katung," ucap dia.
Poengky menuturkan sebagai sebuah institusi, Polri memiliki tugas melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum demi terwujudnya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
Merujuk pada tugas tersebut, anggota kepolisian akan selalu bersinggungan dengan masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan selama 24 jam.
Dengan demikian pimpinan dan personel Polri memang dituntut untuk selalu bisa memuaskan hati masyarakat.
Namun, diakui Poengky, sebuah kasus yang viral di masyarakat lebih cepat direspons oleh Polri. Poengky pun mengkritisi hal ini.
"Jangan sampai respons cepat ketika kasus viral. Di sisi lain, viralnya kasus belum tentu sesuai fakta. Tapi yang pasti sudah ada trial by the social media," ujarnya.
Selain itu, perkembangan teknologi digital juga membuat publik serta media bisa turut serta dalam melakukan pengawasan terhadap Polri. Karenanya, pimpinan dan anggota Polri harus bisa bertugas secara profesional dan jangan sampai melukai hati masyarakat.
Tak hanya itu, Polri juga dituntut untuk lebih responsif dalam merespons laporan ataupun pengaduan masyarakat. Jangan sampai, masyarakat yang merasa tak puas, justru untuk memviralkan kasusnya ke media sosial.
Pengawasan yang dilakukan oleh internal Polri juga harus lebih tegas dan proaktif. Jika sudah ada laporan, maka sudah sepatutnya untuk segera ditindaklanjuti.
"Misalnya kalau anggota diduga melakukan tindak pidana, segera diproses pidana. Jangan hanya diproses disiplin atau etik. Karena tidak memberikan efek jera dan justru melukai hati masyarakat," tutur Poengky.
"Kompolnas percaya Polri semakin lama akan semakin baik, apalagi berdasarkan Grand Strategy Polri, di tahun 2025 Polri sudah harus menjadi organisasi kelas dunia (world class organization)," sambung dia.
Terpisah, anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro tak terlalu mempermasalahkan soal hasil survei terkait tingkat kepercayaan publik terhadap Polri. Sebab, hasil survei tergantung pada metode dan juga responden.
Namun dalam pandangan Ombudsman, Polri sebagai entitas penyelenggara layanan publik, bertanggung jawab memberikan pelayanan yang prima serta sesuai standar layanan yang baik dan berkualitas.
"Catatan Ombudsman, kepolisian masih sering menunda pelayanan (penundaan berlarut), khususnya dalam penanganan laporan di Reskrim/Reskrimsus dan tahap sidik (penyidikan) serta lidik (penyelidikan)," ucap dia.
Johanes menyampaikan ke depannya Polri harus lebih responsif dan terbuka dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Rentetan masalah yang menimpa Polri, kata dia, juga sudah semestinya dianggap sebagai sebuah pembelajaran.
"Kasus Sambo dan Teddy Minahasa harus jadi pembelajaran Polri dalam memilih pemimpin disertai dengan profesionalitas dalam pengawasan dan penegakan hukum dan etik," ucap Johanes.
"Dari kasus itu, Polri harus selektif dalam memilih pimpinan di jajarannya. Kalau perlu mendengarkan aspirasi publik," lanjutnya.
(dis/isn)
#Polri #TeddyMinahasa #TragediKanjuruhan #FerdySambo