Breaking News

Rasa Curiga dalam Pendapat Hakim Saldi Isra di Putusan MK

Hakim MK Saldi Isra

D'On, Jakarta,-
Mahkamah Konstitusi atau MK berubah pendirian dan sikap hanya dalam sekelebat.

Itu kata hakim MK, Saldi Isra, satu dari empat hakim yang memiliki dissenting opinion terkait perkara Nomor 90/PPU/XXI/2023 yang berisi permohonan menetapkan syarat capres/cawapres berusia minimal 40 tahun atau sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Pemohon dari perkara tersebut ialah mahasiswa Universitas Negeri Surakarta, bernama Almas Tsaqibbirru.

MK telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

“Menimbang terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 hruf q UU 7/2017, saya memiliki pendapat berbeda. Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya mahkamah pun menolak permohonan a quo,” kata Saldi.

“Saya benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini,” kata pria kelahiran Paninggahan, Solok, Sumatera Barat itu.

Dia menuturkan, sejak menjadi hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa.

“Dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Senin (16/10).

Sebelumnya, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PPU-XXI/2023, mahkamah menyatakan ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk UU untuk mengubahnya, dan putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk UU.

“Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak terjadi secepat ini,” kata Saldi.

Mahasiswa Teladan Berprestasi Utama I Universitas Andalas 1994 itu berpendapat, perubahan atau penambahan terhadap persyaratan capres dan cawapres sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review, dengan cara merevisi UU yang dimohonkan olah para pemohon.

“Bukan justru melempar bola panas kepada Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat jelas ini, justru diambil alih dan dijadikan beban politik mahkamah untuk memutusnya,” ujar Saldi.

Peraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya (2001) dan gelar doktor di Universitas Gadjah Mada (2009) itu pun khawatir MK menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik yang pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan publik kepada MK.

“Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” kata Saldi. 

(jpnn)

#MahkamahKonstitusi #SaldiIsra #SidangPutusanMK