Buntut Ucapan 'Ndasmu Etik', Prabowo Subianto Dinilai Bukan Negarawan
Prabowo Subianto (kiri) di atas panggung debat capres, Selasa (12/12). Foto: Ricardo/JPNN
D'On, Jakarta,- Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto menjadi sorotan setelah menyampaikan pernyataan yang cenderung menyepelekan etika politik ketika ditanya kenapa masih memilih berduet dengan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.
Prabowo menyebut ‘ndasmu etik’ saat menghadiri Konsolidasi Partai Gerindra di JI EXPO, Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (15/12).
Pengajar Departemen Politik Fisip Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman menilai pernyataan tersebut menunjukan Prabowo Subianto hanya seorang politikus medioker dan jauh dari sikap negarawan.
“Response Prabowo tersebut menunjukkan bahwa beliau sebenarnya hanyalah seorang politisi medioker dan jauh dari sikap negarawan (Statesman),” kata Airlangga dalam keterangannya, dikutip dari JPNN.com, Sabtu (16/12).
Airlangga menyebut Prabowo tak mencirikan seorang negarawan karena tidak pandai memposisikan diri dan mengedepankan etika dalam tingkah laku bernegara.
“Seorang negarawan adalah figur yang meletakkan prinsip-prinsip etika republik, atau kepantasan politik bersendikan pada prinsip republikanisme dalam laku bernegara,” jelasnya.
Airlangga menilai Prabowo juga terkesan acuh dalam menanggapi peristiwa politik terkait pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden yang tak bisa dilepaskan dari pelanggaran etik berat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Prabowo, kata dia, telah mengabaikan prinsip kepantasan politik dalam posisinya sebagai politisi.
“Patut kita garis bawahi bahwa kandidasi Gibran sebagai cawapres sangat berhubungan dengan keputusan MK terkait perubahan syarat capres-cawapres yang oleh MKMK dinyatakan sebagai pelanggaran etika berat,” ungkap Airlangga.
Menurut Airlangga, Prabowo tidak seharusnya menjawab pertanyaan soal etika politik dengan pernyataan ‘ndasmu etik’.
Menurutnya, pertanyaan tersebut terkait dengan penegasan raison d’etre tujuan berdirinya Republik Indonesia seperti ditegaskan oleh Bung Karno dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.
Airlangga mengutip pidato Soekarno yang menegaskan tatanan politik Indonesia mengambil sistem Republik bukan Kerajaan atau Monarki, sehingga siapa yang menjadi presiden Indonesia tidak bisa menggunakan cara sedemikian rupa untuk mengajukan anaknya sebagai penggantinya sebagai pemimpin.
Dia menjelaskan meskipun tidak identik apa yang diutarakan oleh Soekarno dengan fenomena yang terjadi, tetapi kasus etika politik yang dipertanyakan ke Prabowo sangat berhubungan dengan prinsip-prinsip republik yang ditegaskan oleh Bung Karno.
“Di sini kita melihat pada pernyataan Prabowo seorang politikus yang mengabaikan prinsip-prinsip etika republikanisme, bahkan etika Pancasila yang ditegaskan oleh Bung Karno,” ucap Airlangga.
Airlangga lantas mempertanyakan kepantasan Prabowo menjadi presiden. Sebab, Prabowo sudah mengabaikan fondasi etika politik seperti yang ditegaskan dalam prinsip-prinsip dasar Pancasila bahkan sebelum menjadi presiden.
“Apakah pantas Presiden Indonesia kelak atau pemimpin Indonesia mengabaikan fondasi etika politik seperti yang ditegaskan dalam prinsip-prinsip dasar Pancasila seperti yang ditegaskan sejak awal oleh Bung Karno?” pungkas Airlangga.
(jpnn)