Breaking News

Agama Itu di Depan Bukan di Samping Apalagi di Belakang

Buya Gusrizal Gazahar

Dirgantaraonline.co.id,-
Dalam kearifan Minangkabau, ulama itu tidak terlepas dari tugas keilmuannya karena memang dari situ lah akar kata ‘alim-ulama.

Rasulullah saw menggelari para ulama sebagai “waratstul anbiya’” juga karena mewarisi ilmu bukan menerima emas dan perak atau dinar dan dirham. (Lihat hadits Abu al-Darda’ ra dalam Sunan Abu Daud).

Dari petunjuk itulah, ulama Minangkabau merumuskan ungkapan bijak peran dan fungsi ulama yaitu;

“Duduak bacamin kitab, tagak rintang bapituah”.

Inilah cerminan “adaik bapaneh syara’ balinduang, syara’ mangato adaik mamakai” di Minangkabau.

Karakteristik keulamaan seperti inilah yang menjadi pakaian ulama Minangkabau semenjak dahulu.

Dengan kepribadian yang demikian maka ulama Minangkabau tak akan hanyut karena “hujan sadarok” dan tak akan oleng karena “ribuik sajamang”.

Tapi sayang beribu sayang, “sako bajawek tapi pusako indak batoloang”.

Gelar keulamaan banyak yang mau, mimbar banyak menaiki tapi amanah keulamaan sebagai warisan yang dititipkan Rasulullah saw, entah hilang dimana ?!

Dalam suasana “berebut kekuasaan” seperti sekarang ini, peran dan fungsi ulama menemui ujian yang berat.

Siapa yang istiqamah di atas garis keilmuan dan siapa yang terpeleset karena memperturutkan syahwat diri, akan terlihat dengan terang.

Bahkan tidak sedikit yang lebih malang dari yaitu yang terjerembat ke dalam “lukah kehinaan” karena memperturutkan syahwat orang lain.

Seorang penyair pernah menyentil kelakuan seperti itu sebagaimana dinukilkan oleh al-Imam al-Ghazaliy dan Ibnu Mandah ;

عجبت لمبتاع الضلالة بالهدى   وللمشتري دنياه بالدين أعجب

وأعجب من هذين من باع دينه     بدنيا سواه فهو من ذين أخيب

“Saya heran dengan orang yang membeli kesesatan dengan hidayah. 

(Tetapi) orang orang yang membeli dunia dengan agamanya, (itu) lebih mengherankan.

Dan lebih mengherankan lagi (dari pada kedua orang di atas) adalah orang yang menjual agamanya demi dunia orang lain. Dan (sungguh) orang ini lebih malang dari dua orang (sebelumnya)”

Bahkan ada suatu nasehat yang diriwayat  Imam Ibnu Majah, bisa dilihat sebagai sumber mata air rangkaian kata sya’ir di atas yaitu; 

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " مِنْ شَرِّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَبْدٌ أَذْهَبَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَا غَيْرِهِ ".

“dari [Abu Umamah], bahwa Rasulullah saw bersabda: "Seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang hamba yang menghancurkan akhiratnya demi dunia orang lain."

Akhirnya sebagai seorang yang faqir akan ilmu dan kebetulan diberi amanah memimpin lembaga keulamaan di Ranah Minang ini, dengan berat hati harus bernasehat kepada siapa saja dipanggil oleh umat sebagai “buya”, “ustadz”, “syaikh” atau apapun gelaran keulamaan di tengah umat, agar istiqamahlah di jalan ilmu dan dakwah !!!

Kuatkanlah “pagaran bathin” dari syahwat pribadi dan syahwat orang lain !!!

Tak perlu pula harus “manggaritang” untuk menjadi tukang sorak si fulan si fulanah !!!

Bukannya saya ingin membatasi hak seorang warga negara tapi wibawa ilmu dan keulamaan adalah pakaian dunia dan akhirat.

Kalaupun kondisi tidak memungkinkan untuk meneriakkan kebenaran dalam panduan keilmuan, maka pandai-pandailah berlayar di sela karang namun pantangkan bergeser dari yang haq !!!

Apatah lagi memakai baju bukan pakaian kita seperti nama Sumbar dan Minangkabau kemari dibawa apakah lagi baju sudah buatan orang yang sedang berebut untuk dunianya.

Arif-ariflah dalam melihat gerak dan gerik.

Bila kekuasaan sudah dipandang hak milik,

Masjid dipakai untuk bersorak dan “mengharik”,

Pantangkanlah diri menjadi “kudo palajang bukik”

Mata tertukik, bathin menerawang,

Mengingat kabar dan sudut pandang,

Manusia meminta kadang tak menenggang,

peringatan sang Khaliq hendak dihadang,

Wahai diri, juru nasehat pagi dan petang,

Kepada ilmumu janganlah membelakang,

Ingatlah badan bila ajal sudah datang,

Apa jawabmu atas “kakok tangan” yang terbilang.

Kemudian kepada seluruh politisi yang masih bangga membawa nama ranahnya, kalau tuan-tuan memang hormat kepada ulama, 

biarkan guru-guru itu berjalan dalam petunjuk mereka.

Mungkin tuan-tuan melihat ini kesempatan sedang terbuka,

Tapi tuan-tuan akan menyesal dalam waktu yang lama,

Karena telah memadamkan pelita yang berguna,

Untuk diri, anak cucu dan umat seluruhnya,

Melebihi dari lima tahun perebutan “kekuasaan untuk bapak dan anak saya”.

Kalau memang tuan-tuan beragama, 

Jangan letakkan ia di samping, tapi di muka.

Apalagi di belakang, pertanda durhaka.

Jadikanlah ia pedoman bukanya alat penjangkau kuasa  !!!

Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa,

Makkah al-Mukarramah, Kamis 20 Rajab 1445 H / 01 Februari 2024 M