Breaking News

Keajaiban Suku Laut Saloun: Penjelajah Laut Terakhir di Asia Tenggara

Mozaik Suku Moken: Sang Penjelajah.

Dirgantaraonline -
Pagi itu, di pesisir Laut Andaman, Myanmar, Noi bergegas menarik perahunya ke tepian. Hari itu ia berniat melaut, tetapi surutnya air hingga setinggi mata kaki mengisyaratkan bahaya yang akan datang. Tsunami besar akan segera datang, begitu ajaran nenek moyangnya memperingatkan.

Di sekelilingnya, orang-orang mulai berlarian menuju bukit. Noi dan keluarganya segera meninggalkan desa mereka, yang tak lama kemudian porak-poranda dihantam gelombang besar. Syukurlah, mereka selamat dari peristiwa tragis di pengujung 2004 itu. Noi dan keluarganya adalah bagian dari komunitas unik yang dikenal sebagai suku laut Saloun, atau sering juga disebut sebagai Salone, Salum, atau Suku Moken. Mereka adalah penjelajah laut tradisional, yang disebut-sebut sebagai Gipsi Laut terakhir di Asia Tenggara.

Kehidupan Nomaden di Atas Gelombang

Dengan populasi yang hanya diperkirakan sekitar 2.000 hingga 3.000 jiwa, suku ini hidup nomaden di atas kapal kecil, berpindah dari satu pulau ke pulau lain mengikuti musim dan petunjuk alam. Mereka tersebar di wilayah Myanmar, Malaysia, Thailand, Filipina, hingga pesisir Kalimantan.

Kehidupan mereka sangat erat kaitannya dengan laut. Mereka berenang dan menyelam tanpa bantuan alat, mencari ikan dan berburu berbagai biota laut. Para pria menggunakan tombak dan jaring untuk menangkap ikan, sementara wanita dan anak-anak mengumpulkan krustasea saat air surut. Mereka adalah penyelam luar biasa, mampu bertahan di bawah air dalam waktu lama tanpa tangki oksigen. Bahkan, anak-anak kecil mampu melihat dengan jelas apa yang ada di dalam laut.

Keterampilan mereka dalam mengendalikan perahu tradisional yang disebut kabang memungkinkan mereka menjelajahi lautan dengan cekatan. Kabang bukan hanya alat transportasi, tetapi juga menjadi rumah, tempat berkumpul, belajar, bermain, dan mendidik anak-anak. Meskipun tanpa banyak harta benda, mereka kaya akan budaya dan tradisi yang diwariskan turun-temurun.

Nilai-nilai Komunal dan Pengetahuan Tradisional

Sebagai masyarakat nomaden, suku Moken mengandalkan solidaritas dan kerja sama komunal dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka berbagi sumber daya, pengetahuan, dan saling membantu dalam aktivitas sehari-hari di laut. Nilai-nilai komunal ini menjadi fondasi bagi ketahanan dan keberlanjutan hidup mereka.

Pengetahuan serta keterampilan tradisional mereka tentang laut, arus, cuaca, dan ekosistem sangat mendalam. Mereka hanya mengambil apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, menjaga aktivitas mereka tetap selaras dengan alam tanpa meninggalkan jejak kerusakan yang berarti.

Asal-usul yang Spekulatif

Asal-usul suku Moken masih bersifat spekulatif meskipun telah banyak diteliti dari sudut pandang linguistik, sosio-kultural, dan genetika. Diperkirakan mereka berasal dari rumpun Austronesia, sama dengan suku-suku lain di Asia Tenggara seperti Orang Laut di Indonesia dan Malaysia. Beberapa peneliti berpendapat bahwa suku Moken mungkin keturunan dari kelompok-kelompok kecil yang terpisah dari populasi yang lebih besar di masa lalu.

Dalam jurnal "Origins of the Moken Sea Gypsies inferred from mitochondrial hypervariable region and whole genome sequences" (2009), Kelsey Needham Dancause dan rekan-rekannya mengeksplorasi asal-usul dan afinitas Moken dengan membandingkan genom mitokondria dan sekuens segmen hipervariabel I dari 12 individu Moken. Analisis ini mengungkapkan keragaman mitokondria rendah, kemungkinan besar disebabkan oleh ukuran populasi yang rendah secara historis, isolasi, dan drift genetik.

Kepercayaan Mitologis

Suku Moken menjalani kehidupan tradisional di laut dalam kelompok yang terdiri dari setidaknya enam perahu, masing-masing menampung satu keluarga. Mereka berburu penyu, mengumpulkan cacing pasir, dan kerang, serta menangkap berbagai spesies dengan perangkap, jaring, dan tombak.

Menurut mitos Moken, bentuk perahu kabang melambangkan tubuh manusia. Bagian depan perahu dianggap sebagai mulut yang terus-menerus meminta makan, sementara bagian belakang sebagai anus untuk mengeluarkan kotoran. 

Di atas kabang, Noi tidak pernah memiliki rute khusus. Ia hanya singgah di pulau tertentu untuk keperluan yang dibutuhkan. Selebihnya, ia merasa bebas dan membiarkan kabang menjadi pembimbingnya. "Kehidupan kita berasal dari perahu. Misalnya, aku dilahirkan di kabang, begitu pula nenek. Kita menghabiskan hidup kita di kabang," ujar Noi ditemani ibu, istri, dan kedua anaknya.

Suku Moken menyembah dua dewa roh utama dalam sistem kepercayaan politeistik mereka. Selain itu, mereka juga mempraktikkan perdukunan terkait dengan upacara adat atau ritual tertentu.

Kehidupan Tradisional yang Terancam

Keberadaan suku Moken kini terancam oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya laut, dan pembangunan infrastruktur yang pesat. Tradisi dan budaya mereka semakin terdesak oleh modernisasi. Pemerintah Myanmar bahkan berencana merelokasi suku Moken secara permanen ke daratan untuk dijadikan objek wisata, dengan harapan meningkatkan pendapatan pariwisata. Banyak warga Moken yang tidak memiliki kewarganegaraan dan tidak memiliki akses terhadap fasilitas atau layanan kesehatan.

Masyarakat Moken tidak mengenal politik dan kekerasan, mereka hidup dalam kelompok mereka sendiri. Kehidupan mereka mengikuti perubahan musim, berpindah antara laut dan darat untuk berburu, mengumpulkan ikan, dan mempertahankan otonomi yang bergantung pada laut.

Hubungan mereka dengan darat bukanlah lawan dari kehidupan lautnya, tetapi saling melengkapi demi keberlanjutan budaya dan tradisi yang kaya. Meski terancam oleh modernisasi dan perubahan lingkungan, suku Moken tetap bertahan dengan kehidupan yang selaras dengan alam, menjaga tradisi dan pengetahuan turun-temurun yang menjadikan mereka sebagai salah satu komunitas unik di dunia.

(Tirto)

#SukuMoken #Sejarah