Breaking News

Kriminalisasi Advokat Perempuan: Meila Nurul Fajriah Ditersangkakan dalam Kasus Pencemaran Nama Baik

Sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus menggelar aksi damai di depan Gedung Kemendikbud, Jakarta, pada Senin (10/2/2020), menuntut tindakan tegas terhadap kekerasan seksual di kampus. tirto.id/Andrey Gromico

D'On, Yogyakarta -
  Meila Nurul Fajriah, advokat yang dikenal gigih memperjuangkan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual, kini menghadapi kriminalisasi. Meila, yang juga sah sebagai advokat berlisensi, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini memicu kemarahan dan kecaman dari berbagai kalangan, termasuk Annisa Azzahra, rekan dekat Meila dan peneliti di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).

Annisa menilai Meila sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM) yang tak gentar menghadapi tantangan. "Kak Meila adalah advokat yang berhak membela kliennya tanpa dikenai proses hukum," ujar Annisa pada Senin, 29 Juli 2024. Ironisnya, Meila kini dituduh mencemarkan nama baik IM, seorang terduga pelaku kekerasan seksual yang kasusnya ia tangani.

Latar Belakang Kasus

Pada tahun 2020, sekitar 30 korban kekerasan seksual melaporkan IM ke LBH Yogyakarta, tempat Meila berpraktik sebagai advokat. Kasus ini diduga terjadi di Universitas Islam Indonesia (UII), di mana IM tercatat sebagai mahasiswa. IM, yang merasa difitnah, melaporkan Meila dan dua advokat LBH Yogyakarta lainnya ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE jo Pasal 45 Ayat 3 UU ITE.

Penetapan Meila sebagai tersangka oleh Polda DIY pada Juni 2024 disambut kemarahan Annisa. "Proses hukum terhadap Meila adalah bentuk kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM," tegasnya. Annisa khawatir bahwa kriminalisasi ini akan menyulitkan para korban kekerasan seksual dalam mencari keadilan.

Teknik Manipulatif Pelaku: DARVO

Annisa mengungkapkan bahwa taktik yang digunakan IM disebut DARVO: deny (menyangkal), attack (menyerang), dan reverse the victim and offender (membalikkan posisi korban dan pelaku). Teknik manipulatif ini sering mengecoh masyarakat dan aparat hukum. Annisa menambahkan, "Kriminalisasi dengan UU ITE akan terus-menerus berulang. Mendapatkan keadilan bagi perempuan sangatlah sulit."

Reformasi Peradilan Berperspektif Gender

Annisa menyoroti perlunya reformasi peradilan yang lebih berperspektif gender di Indonesia. Ia menyayangkan sikap seksis dan misoginis aparat penegak hukum dalam menangani laporan kekerasan seksual. "Aparat penegak hukum kita sering menjadi alat untuk melakukan kriminalisasi kepada pembela HAM, khususnya perempuan," katanya.

Pandangan Polda DIY

Dirreskrimsus Polda DIY, Kombes Idham Mahdi, membantah tuduhan kriminalisasi dan menyatakan bahwa proses hukum terhadap Meila berjalan sesuai prosedur. Idham menyebut bahwa pihaknya telah berupaya meminta bukti dugaan kekerasan seksual dari LBH Yogyakarta namun tidak mendapat respons. Ia juga menyebut bahwa Polda DIY menawarkan restorative justice yang tidak terealisasi.

Kritik dari YLBHI dan Komnas HAM

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengkritik penyidikan kasus ini yang dinilai tidak berdasarkan asas kredibilitas. "LBH Yogyakarta telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas," kata Isnur. Ia juga menyoroti bahwa Polda DIY mengabaikan fakta yang ditemukan oleh Tim Pendampingan dan Advokasi UII yang menunjukkan adanya empat korban kekerasan seksual oleh IM.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa Meila memiliki hak impunitas sebagai pendamping hukum korban kekerasan seksual. "Kepolisian harus menerapkan hak impunitas bagi para pendamping korban TPKS," ujar Anis. Komnas HAM telah menerima pengaduan terkait kasus Meila dan berencana menindaklanjutinya.

Dampak Kriminalisasi pada Penanganan Kasus TPKS

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, memperingatkan bahwa kriminalisasi terhadap Meila akan berdampak buruk pada penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. "Kriminalisasi ini akan menambah beban para korban karena muncul kekhawatiran korban ikut dilaporkan," katanya. Siti juga menyayangkan bahwa jumlah pendamping hukum untuk kasus kekerasan seksual masih sangat sedikit.

Seruan untuk Keadilan

Berbagai pihak mendesak Polda DIY untuk mencabut penetapan tersangka terhadap Meila Nurul Fajriah. Mereka menilai tindakan ini sebagai serangan terhadap kerja-kerja advokat dan organisasi bantuan hukum yang melindungi korban kekerasan seksual.

Kriminalisasi terhadap Meila tidak hanya merugikan dirinya, tetapi juga memperburuk keadaan bagi para korban kekerasan seksual yang mencari keadilan. Dengan semakin sedikitnya pendamping hukum yang berani mengambil risiko, para korban kekerasan seksual akan semakin kesulitan mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan.

(Mond/Tirto)

#Hukum #MeilaNurulFajriah #Kriminalisasi #PoldaDIY