Pesantren dan Lapas: Tempat Berisiko Tinggi Penularan TBC di Indonesia
Eva Westari, Kepala Seksi P2M Dinas Kesehatan Kota Padang
D'On, Padang - Indonesia saat ini menempati peringkat kedua di dunia untuk beban penyakit Tuberkulosis (TBC), setelah India. Kasus TBC di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, menuntut perhatian serius dari berbagai pihak agar mata rantai penyebaran penyakit ini dapat terputus.
Hal tersebut disampaikan oleh Eva Westari, Kepala Seksi P2M Dinas Kesehatan Kota Padang, saat menjadi pembicara dalam acara "Penguatan Standar Kualitas Pelayanan TBC Lintas Pemangku Kepentingan". Acara ini diinisiasi oleh Komunitas Penabulu-STPI Sumbar dan digelar di Pangeran City Hotel, Padang, pada Selasa (30/7/2024).
"Kita terus melakukan penjaringan penderita TBC hingga akhir tahun ini dengan harapan dapat memetakan dan memutus mata rantai penularan TBC," ujar Eva di hadapan para peserta.
Eva Westari mengungkapkan bahwa penyebaran TBC dapat terjadi di berbagai tempat, terutama di lokasi yang menjadi tempat berkumpulnya banyak orang. "Pesantren dan lapas merupakan tempat yang berisiko tinggi terjadi penularan TBC," katanya.
Eva mengimbau agar para pengelola pesantren bekerja sama dengan puskesmas setempat untuk melakukan skrining TBC terhadap santri, guru, maupun karyawan. "Dengan demikian, mereka yang bergejala bisa segera kita obati," tambahnya.
Menurut data yang disampaikan oleh Eva, pada tahun 2024, Kota Padang diperkirakan memiliki 4.838 kasus TBC. Namun, hingga Juli ini, baru ditemukan sebanyak 2.122 kasus. Dari jumlah tersebut, 16,4 persen merupakan kasus dari luar kota, sementara sekitar 83 persen (1.773 kasus) berasal dari dalam kota dan tersebar di 11 kecamatan se-Kota Padang.
Dari sisi kelompok umur, 20 persen kasus TBC terjadi pada anak usia 0-14 tahun, sementara 80 persen sisanya terjadi pada usia 15 tahun ke atas.
Eva menekankan pentingnya deteksi dini dan penanganan cepat terhadap TBC, terutama di lingkungan pesantren dan lapas, untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif mengenai bahaya dan pencegahan TBC di masyarakat luas.
Dalam penutupannya, Eva mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah, komunitas, hingga individu, untuk bersama-sama berperan aktif dalam upaya memutus mata rantai penularan TBC di Indonesia. "Kerja sama yang solid dan sinergi dari semua pihak adalah kunci utama untuk mengatasi masalah ini," pungkasnya.
Strategi Penanganan TBC di Pesantren dan Lapas
Penanganan TBC di pesantren dan lapas memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil meliputi:
1. Skrining Rutin dan Massal:
Melakukan pemeriksaan TBC secara rutin dan massal di pesantren dan lapas untuk mendeteksi dini kasus TBC.
2. Pemberian Edukasi:
Memberikan edukasi mengenai gejala TBC, cara penularan, dan pencegahannya kepada santri, narapidana, serta staf di kedua tempat tersebut.
3. Perbaikan Sanitasi:
Meningkatkan kualitas sanitasi dan ventilasi di pesantren dan lapas untuk mengurangi risiko penularan TBC.
4. Pemberian Obat Gratis:
Memastikan ketersediaan obat-obatan TBC secara gratis dan mudah diakses bagi penderita yang ditemukan di kedua tempat tersebut.
5. Pelatihan Kader Kesehatan:
Melatih kader kesehatan di pesantren dan lapas untuk melakukan pemantauan dan memberikan informasi terkait TBC secara kontinu.
Upaya-upaya ini diharapkan dapat membantu menekan angka penyebaran TBC di lingkungan yang berisiko tinggi dan sekaligus meningkatkan kesadaran serta partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat dalam memerangi penyakit ini.
(Mond)
#Kesehatan #TBC #Padang #Lapas #Pesantren