Revisi UU Polri: Perkuat Kewenangan atau Perbaiki Kinerja?
Lambang Polri/Foto:Polri.go.id
Dirgantaraonline - Pemerintah dan DPR RI terus melaju memproses revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), meski mendapat kritik keras dari masyarakat sipil. Kritikus memperingatkan bahwa revisi ini berpotensi membuat Polri menjadi badan super dengan kewenangan yang membengkak. Hal ini menjadi lebih kontroversial mengingat kinerja polisi dalam penanganan perkara yang tengah menjadi sorotan karena sering abai terhadap prosedur yang ada.
Kasus Afif Maulana dan Kejanggalan Penanganan Polisi
Salah satu kasus yang menimbulkan kecurigaan adalah tewasnya Afif Maulana, seorang bocah 13 tahun di bawah jembatan Kuranji, Padang. Afif diduga disiksa oleh polisi setelah diamankan karena tuduhan hendak tawuran. Polisi bersikeras bahwa Afif tewas karena melompat dari jembatan, namun keluarga korban mencurigai adanya upaya penutupan kasus ini. Dugaan pengaburan fakta semakin menguat dengan hilangnya rekaman CCTV dan upaya perusakan tempat kejadian perkara (TKP).
Penyiksaan terhadap IWS: Bukti Kegagalan Prosedur
Kasus lainnya melibatkan penyiksaan terhadap seorang warga Bali, IWS (47), oleh 10 anggota Polres Klungkung. IWS mengalami cacat permanen pada gendang telinga sebelah kiri akibat pukulan berulang dengan tangan kosong, botol air, dan botol bir selama interogasi. Yang lebih mengejutkan, IWS terbukti sebagai korban salah tangkap. Selama penyiksaan, tangan IWS diborgol, pakaian dilucuti, dan matanya ditutup dengan plester putih berlapis.
Kasus Pegi Setiawan: Cacat Prosedur Penetapan Tersangka
Dalam kasus pembunuhan Vina-Eky di Cirebon, praperadilan yang diajukan oleh Pegi Setiawan mengungkap cacat prosedur penetapan tersangka oleh polisi. Hakim memutus bahwa penetapan tersangka terhadap Pegi tidak sah karena tidak diawali dengan surat pemanggilan dan hanya didasarkan pada dua alat bukti tanpa pemeriksaan yang memadai.
Revisi UU Polri: Kewenangan yang Membengkak?
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, berpendapat bahwa proses revisi UU Polri yang berjalan cepat sangat kontras dengan banyaknya masalah penanganan perkara oleh polisi. Isnur menyarankan perlunya pembatasan kewenangan dan desentralisasi wewenang Polri, agar mekanisme pengawasan dapat lebih kuat dan efektif. Ia juga menyoroti potensi revisi ini sebagai bagian dari agenda politik untuk kepentingan pemilu, mengingat proses revisi yang berjalan bersamaan dengan UU TNI.
Risiko Super Body dan Silang Sengkarut Kewenangan
Revisi UU Polri berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kementerian/lembaga lain. Misalnya, perluasan kewenangan Polri di ruang siber, yang memungkinkan polisi melakukan penyadapan dan pemblokiran jaringan internet. Kewenangan ini dapat digunakan untuk menyelidiki dan mengamankan lebih dari lembaga intelijen lainnya, seperti BIN dan BAIS, serta bisa berpotensi disalahgunakan untuk menghilangkan nyawa.
Kritik Terhadap Revisi UU Polri
Khairul Fahmi, Direktur Eksekutif ISESS, menyatakan bahwa substansi revisi UU Polri perlu ditinjau kembali dan tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Ia menekankan bahwa perubahan UU Polri seharusnya digunakan untuk memperbaiki masalah struktural dan kultural di kepolisian, termasuk penyiksaan, kekerasan, dan rendahnya pemenuhan hak-hak tersangka. Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, juga menyoroti bahwa perubahan UU Polri harus melalui evaluasi penegakan hukum polisi saat ini dan bukan diusulkan secara tiba-tiba oleh DPR.
Respons Pemerintah
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menyatakan bahwa pemerintah akan mendengar aspirasi publik terkait revisi UU Polri. Menkopolhukam Hadi Tjahjanto juga menekankan pentingnya saran dan kritik dari masyarakat sipil. Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menambahkan bahwa revisi UU Polri menjadi motivasi bagi lembaganya untuk bekerja lebih baik, meski beberapa materi revisi seperti pajak, siber, dan kedaulatan belum dibahas secara menyeluruh.
Revisi UU Polri memicu perdebatan sengit tentang perluasan kewenangan dan peningkatan pengawasan terhadap kinerja kepolisian. Dengan berbagai kasus pelanggaran prosedur yang mencuat, penting bagi pemerintah dan DPR untuk tidak terburu-buru dalam mengesahkan revisi ini. Transparansi, partisipasi publik, dan peninjauan mendalam terhadap substansi revisi harus menjadi prioritas agar reformasi hukum yang dihasilkan benar-benar memperbaiki kinerja Polri dan melindungi hak-hak masyarakat.
(Mond)
#Polri #Nasional