Breaking News

Berdebat Dapat Mengeraskan Hati dan Melemahkan Amal: Nasehat Bijak dari Imam Syafi’i dan Para Ulama

Ilustrasi Berdebat 

Dirgantaraonline -
Imam Syafi’i adalah salah satu ulama besar yang terkenal dengan kemampuan luar biasa dalam berdialog dan berdebat. Keahliannya dalam berhujah diakui oleh banyak orang, termasuk oleh Harun bin Sa’id yang pernah berkata, “Seandainya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat bahwa tiang yang pada asalnya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu, niscaya dia akan menang karena kepandaiannya dalam berdebat.”

Namun, meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berdebat, Imam Syafi’i tidak pernah menjadikan kemenangan sebagai tujuan utama dalam perdebatan. Dalam salah satu ucapannya, beliau menegaskan, “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan.” Ucapan ini mencerminkan sikap rendah hati dan niat yang tulus dari Imam Syafi’i, bahwa perdebatan bukanlah soal siapa yang menang atau kalah, melainkan soal mencari kebenaran.

Imam Syafi’i juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam memilih lawan debat. Beliau pernah berkata, “Aku mampu berhujjah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa berdebat dengan orang yang tidak memiliki dasar ilmu hanya akan berakhir sia-sia dan bahkan bisa membawa dampak negatif.

Kebijaksanaan dalam Menghindari Perdebatan dengan Orang Bodoh

Imam Syafi’i juga memberikan nasehat agar menghindari perdebatan dengan orang yang bodoh. Beliau berkata, “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”

Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan pentingnya diam sebagai bentuk kemuliaan dan kehormatan diri. Dalam sebuah dialog, ketika ditanya apakah beliau akan diam jika ditantang oleh musuh, Imam Syafi’i menjawab, “Sesungguhnya untuk menangkal pintu-pintu kejahatan itu ada kuncinya. Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.” Beliau juga mengibaratkan seekor singa yang ditakuti karena pendiam, sedangkan anjing yang suka menggonggong sering dijadikan permainan.

Meninggalkan Perdebatan Demi Kedamaian Hati

Imam Syafi’i juga menyadari bahwa perdebatan dengan orang yang tidak berilmu atau tidak beradab hanya akan menambah masalah. Beliau memberikan contoh dengan berkata, “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.”

Sikap ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersabda, “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167).

Lebih jauh lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan bahwa kaum yang suka berjidal atau bertengkar akan tersesat setelah mendapatkan petunjuk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, beliau bersabda, “Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal.” Lalu beliau membaca ayat Al-Qur’an, “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS Az-Zuhruf [43]: 58).

Perdebatan dan Dampaknya Terhadap Hati dan Ilmu

Imam Malik rahimahullah, seorang ulama besar lainnya, juga memperingatkan bahwa berjidal atau berdebat tanpa ilmu dapat menghilangkan cahaya ilmu, mengeraskan hati, dan menyebabkan permusuhan. Menurut beliau, perdebatan yang didasari oleh hawa nafsu bukan hanya merusak hubungan antar sesama, tetapi juga menggelapkan hati dan mengurangi keberkahan ilmu.

Allah ta’ala juga memperingatkan dalam Al-Qur’an untuk tidak mengikuti hawa nafsu, karena hal itu dapat menyesatkan dari jalan-Nya. Dalam QS Shaad [38]: 26, Allah berfirman, “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” Dan dalam QS An’Aam [6]: 56, Allah juga berfirman, “Katakanlah: ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk’.”

Dari nasehat-nasehat bijak para ulama ini, jelaslah bahwa perdebatan yang didasari oleh hawa nafsu dan dilakukan dengan orang yang tidak berilmu harus dihindari. Berdebat tanpa tujuan yang baik hanya akan mengeraskan hati, melemahkan amal, dan menghilangkan keberkahan ilmu. Sebaliknya, menjaga lisan, bersikap diam dalam menghadapi kebodohan, dan mengutamakan akhlak mulia adalah jalan menuju kedamaian hati dan keselamatan di dunia serta akhirat.

(Mond)

#Religi #Islami