Dinamika Revisi UU Pilkada: Apa Motivasi di Balik Rencana DPR?
Gedung Mahkamah Konstitusi
D'On, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI direncanakan melakukan pembahasan revisi terhadap Undang-Undang Pilkada, pada Rabu (21/8/2024). Langkah ini menimbulkan pertanyaan mendasar di kalangan masyarakat: Mengapa UU Pilkada perlu diubah sekarang, terutama ketika proses Pilkada sudah dekat?
Sebagai acuan, Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022, mengatur tentang materi muatan yang harus diatur oleh undang-undang. Dalam Pasal 10, jelas disebutkan bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) termasuk salah satu materi yang harus diatur melalui undang-undang.
Pasal 10 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang meliputi "tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi." Ayat (2) dari pasal yang sama menambahkan bahwa tindak lanjut ini dilakukan oleh DPR atau Presiden, dengan tujuan mencegah terjadinya kekosongan hukum.
Namun, apakah rencana DPR ini bisa dianggap sebagai upaya mengubah putusan MK? Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, yang dimaksud dengan tindak lanjut dalam Pasal 10 bukanlah untuk mengubah putusan MK, tetapi untuk mengikuti dan menyesuaikan peraturan yang ada dengan putusan tersebut.
"Yang dimaksud dengan tindak lanjut putusan MK itu bukan untuk mengubah putusan MK, tapi mematuhinya. Putusan MK sudah jelas bacaannya dan bersifat final serta mengikat. Sehingga, tidak ada kebutuhan mendesak untuk mengubah undang-undang, terutama ketika Pilkada sudah di ambang pintu," kata Feri pada Rabu, 21 Agustus.
Feri menegaskan bahwa putusan MK memiliki kekuatan hukum yang bersifat final and binding (final dan mengikat), yang harus dihormati oleh semua lembaga negara tanpa kecuali. "Putusan MK adalah putusan tertinggi dalam menafsirkan konstitusi. Oleh karena itu, semua lembaga negara, penyelenggara negara, dan warga negara wajib mematuhi putusan tersebut, suka atau tidak suka," tegasnya.
Menurut Feri, jika Baleg tetap memaksakan revisi UU Pilkada dengan tujuan untuk mengubah atau mengabaikan putusan MK, hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan yang merusak tatanan konstitusi. "Jika Baleg berupaya mengutak-atik putusan MK, maka Baleg sedang merusak tatanan konstitusi kita. Ini berarti Baleg dapat dianggap sebagai lembaga yang melanggar konstitusi," ujarnya.
Sebelumnya, pada Selasa, 20 Agustus, MK mengeluarkan dua putusan penting terkait UU Pilkada. Putusan pertama, yaitu Putusan Nomor 60, mengatur tentang ambang batas dukungan partai politik dalam mengusung calon kepala daerah (cakada), yang semula berdasarkan perolehan kursi di DPRD, kini harus berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah tersebut. Putusan kedua, yaitu Putusan Nomor 70, menetapkan batas minimal usia calon kepala daerah menjadi 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Putusan ini dinilai dapat berdampak signifikan, terutama terkait dengan pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Langkah DPR untuk merevisi UU Pilkada di tengah situasi yang serba mendesak ini menimbulkan spekulasi tentang motivasi di baliknya. Apakah ini murni untuk menyesuaikan undang-undang dengan putusan MK, atau ada kepentingan lain yang mendasarinya? Publik menunggu dengan penuh perhatian, berharap agar tatanan konstitusi tetap dijaga dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
(Mond)
#MahkamahKonstitusi #DPR #Hukum #UUPilkada