Eks Hakim MK: Baleg DPR Langgar Putusan, Siap Hadapi Rakyat!
D'On, Jakarta - DPR RI kembali mencatatkan langkah kontroversial dengan merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam waktu yang sangat singkat. Pembahasan yang dimulai oleh Panitia Kerja (Panja) pada hari ini dijadwalkan untuk segera disahkan dalam Rapat Paripurna pada Kamis, 22 Agustus. Substansi revisi ini memicu perdebatan sengit karena dianggap menyimpang dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja dibacakan sehari sebelumnya.
Mantan Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap langkah DPR ini. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI merupakan tindakan yang terang-terangan melawan putusan pengadilan, khususnya MK, yang secara konstitusional memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan Konstitusi UUD 1945.
"Ini adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, casu quo (dalam hal ini) MK, yang oleh UUD diberi kewenangan untuk menjaga Konstitusi (UUD 1945)," tegas Palguna dalam wawancara dengan wartawan pada Rabu, 21 Agustus. Palguna bahkan menilai bahwa langkah DPR ini bisa mempermalukan Indonesia di mata dunia. "Saya rasa saat ini dunia makin menempatkan kita sebagai bahan olok-olok paling memalukan," lanjutnya.
Palguna juga menyarankan agar MK tidak perlu terlibat lebih jauh dalam merespons tindakan DPR ini. Menurutnya, biarlah masyarakat yang bereaksi terhadap keputusan tersebut. "Mereka kan berhadapan dengan rakyat. Sebagai pengadilan, MK bersifat pasif. Kalau ada permohonan, dia periksa. Kalau tidak, ia tidak boleh menyuruh orang berperkara," jelas Palguna.
Sebelumnya, Baleg DPR RI memutuskan untuk tetap mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang diketok palu pada 29 Mei 2024. Putusan ini mengatur bahwa syarat minimum usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan, bukan saat pencalonan. Aturan ini menuai kontroversi karena diduga menguntungkan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang sedang dipersiapkan untuk maju dalam pemilihan gubernur.
MK sebenarnya telah memberikan pertimbangan bahwa syarat usia tersebut seharusnya berlaku saat pencalonan, bukan saat pelantikan. Pertimbangan ini, menurut MK, bersifat mengikat. Namun, Baleg DPR RI lebih memilih untuk merujuk pada putusan MA yang berbeda pandangan.
Selain itu, revisi UU Pilkada ini juga memunculkan kembali pasal yang sebelumnya telah diubah oleh MK terkait ambang batas partai politik untuk mencalonkan kepala daerah. DPR menghidupkan kembali aturan bahwa partai politik harus memiliki setidaknya 20% dari kursi DPRD atau 25% dari suara sah pemilu legislatif di daerah terkait untuk mengajukan calon kepala daerah. Bagi partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD, pengajuan calon kepala daerah didasarkan pada perolehan suara sah di daerah tersebut.
Padahal, MK telah menganulir ketentuan yang mengacu pada perolehan kursi DPRD, dan menetapkan bahwa pengajuan calon kepala daerah harus didasarkan pada perolehan suara sah di daerah tersebut tanpa mempertimbangkan jumlah kursi DPRD.
Langkah DPR yang mengabaikan putusan MK ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen lembaga legislatif terhadap supremasi hukum dan prinsip demokrasi di Indonesia. Reaksi masyarakat dan berbagai pihak kini menjadi sorotan utama dalam menanggapi revisi UU Pilkada yang kontroversial ini.
(Mond)
#BalegDPR #PutusanMK #MahkamahKonstitusi #RUUPilkada #Nasional