Jokowi dan Politik Akomodatif: Menghimpun Kekuatan dengan Mengorbankan Demokrasi
Dirgantaraonline - Selama hampir satu dekade kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah merubah peta politik Indonesia secara signifikan melalui pendekatan politik akomodatif yang kontroversial. Dengan merangkul lawan politiknya dan membangun koalisi besar di parlemen, Jokowi berhasil memperkuat dukungan atas kebijakan-kebijakannya. Namun, strategi ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan demokrasi di Indonesia.
Sejak awal masa kepemimpinannya pada 2014, Jokowi sudah mulai merangkul lawan-lawan politiknya untuk memperkuat dukungan di DPR. Pada awal pemerintahannya, Jokowi hanya didukung oleh empat partai koalisi, yaitu PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. Namun, pada pertengahan 2015, Jokowi berhasil menarik PAN, PPP, dan Golkar, yang sebelumnya berada di kubu oposisi, untuk bergabung dengan pemerintahannya.
Langkah Jokowi ini terbukti efektif dalam memperkuat posisinya di parlemen. Dengan bergabungnya Golkar, dukungan di DPR meningkat dari 37 persen menjadi 69,2 persen. Hal ini memberikan Jokowi kekuatan politik yang signifikan, memungkinkannya untuk mengesahkan berbagai kebijakan tanpa hambatan berarti dari parlemen.
Pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi kembali mengulangi strategi yang sama. Tiga hari setelah dilantik pada 2019, Jokowi mengumumkan kabinetnya yang mencakup tokoh-tokoh dari berbagai partai, termasuk Partai Gerindra, yang notabene adalah lawannya dalam Pilpres 2019. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak karena Jokowi memberikan dua kursi menteri kepada Partai Gerindra, sementara partai pendukungnya yang tidak memiliki kursi di DPR, seperti PSI, Perindo, PKPI, dan Hanura, tidak mendapatkan posisi apa pun di kabinet.
Langkah politik akomodatif Jokowi ini semakin terlihat pada pertengahan 2021, ketika PAN yang sebelumnya berada di oposisi, akhirnya bergabung dengan pemerintahannya. Meskipun tidak langsung diberikan kursi menteri, PAN akhirnya masuk ke Kabinet Indonesia Maju pada Juni 2022 dengan Zulkifli Hasan ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan.
Namun, pendekatan ini bukan tanpa kritik. Para pengamat politik menilai bahwa gemuknya koalisi pendukung di DPR justru merusak mekanisme checks and balances yang esensial dalam sebuah demokrasi. Kekuatan oposisi yang melemah membuat suara-suara kritis terhadap pemerintah menjadi tumpul, sehingga evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tidak berjalan optimal.
Menurut Kunto Adi Wibowo, seorang analis politik dari Universitas Padjadjaran, strategi politik akomodatif Jokowi lebih banyak mengandung nuansa negatif ketimbang positif. Ia menilai bahwa politik akomodatif ini bukanlah tanda kepemimpinan yang cerdas atau jenius, melainkan sebuah langkah yang berpotensi merusak demokrasi.
“Saya melihat ini sebagai model kepemimpinan yang justru paling berbahaya bagi demokrasi. Saya enggan memberikan label ‘pintar’ atau ‘cerdas’ kepada strategi ini,” kata Kunto.
Selain merangkul lawan-lawan politik, Jokowi juga mengakomodasi berbagai kelompok kepentingan lainnya, termasuk organisasi masyarakat berbasis agama. Salah satu langkah awal Jokowi dalam merangkul kelompok-kelompok ini adalah dengan menetapkan Hari Santri pada 22 Oktober 2015, sebagai bagian dari janji kampanye Pilpres 2014.
Di pengujung masa kepemimpinannya, Jokowi kembali memberi karpet merah bagi ormas-ormas keagamaan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang memberikan prioritas kepada ormas keagamaan untuk mengelola bekas lahan tambang PKP2B. Dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, langsung menyambut kesempatan ini dengan membentuk perusahaan dan menyiapkan kader-kader untuk mengelola tambang tersebut.
Langkah Jokowi ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ia dianggap berhasil mengonsolidasikan dukungan dari berbagai kelompok kepentingan. Namun, di sisi lain, hal ini juga dilihat sebagai upaya memperkuat kekuasaan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan memperlemah kekuatan oposisi.
Musfi Romdoni, analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), mencatat bahwa gaya kepemimpinan Jokowi di periode kedua lebih berani dan tidak terlalu peduli dengan persepsi publik. Jokowi tampak lebih fokus pada hasil akhir daripada proses untuk mencapainya, sebuah karakteristik yang menurut Musfi sangat khas dalam gaya kepemimpinan konsekuensialis.
“Dalam etika konsekuensialis, tindakan dinilai baik berdasarkan hasilnya, bukan prosesnya. Jokowi sering menekankan pentingnya hasil dalam berbagai kesempatan, dan hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan yang diambilnya,” jelas Musfi.
Dengan gaya kepemimpinan yang fokus pada hasil, Jokowi mungkin berhasil mencapai tujuan-tujuan politiknya dalam jangka pendek. Namun, pertanyaan besar yang masih tersisa adalah: apakah strategi ini akan membawa dampak positif bagi demokrasi Indonesia dalam jangka panjang, atau justru akan meninggalkan warisan yang merusak bagi generasi mendatang?
(Mond)
#Demokrasi #Politik #Jokowi #Nasional