Breaking News

Jokowi: MK Putuskan, Tukang Kayu Tetap Jadi Sorotan

Presiden Joko Widodo saat memberi sambutan dalam acara penutupan Munas XI Golkar, di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024). 

D'On, Jakarta -
Presiden Joko Widodo mengungkapkan keheranannya atas keriuhan publik yang tengah ramai memperdebatkan keputusan terkait Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), tetapi justru yang viral di media sosial adalah dirinya yang disebut sebagai "si tukang kayu." Pernyataan ini disampaikan oleh Jokowi dalam sambutannya pada acara penutupan Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, pada Rabu malam, 21 Agustus 2024.

Keriuhan Publik dan Viral di Media Sosial

Jokowi menyadari bahwa dalam beberapa hari terakhir, media sosial dan media massa dipenuhi dengan perdebatan sengit terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Pilkada. Namun, alih-alih fokus pada substansi hukum dan perdebatan politik, perhatian publik justru tersedot pada dirinya yang kembali dijuluki "si tukang kayu."

"Satu dua hari ini kalau kita melihat media sosial, media massa, ini sedang riuh, sedang ramai setelah putusan yang terkait dengan Pilkada. Tapi setelah saya lihat di media sosial, salah satu yang ramai tetap soal si tukang kayu," ujar Jokowi dengan nada sedikit heran.

Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit siapa "si tukang kayu" yang dimaksud, publik tentu saja memahami bahwa julukan tersebut kerap disematkan kepada Jokowi sejak ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga saat ini sebagai Presiden. Julukan tersebut berasal dari latar belakang Jokowi yang pernah bekerja sebagai pengusaha mebel.

Menyikapi Putusan MK dan DPR RI

Jokowi menekankan bahwa putusan terkait UU Pilkada adalah murni ranah yudikatif, yang dalam hal ini berada di bawah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengingatkan bahwa keputusan tersebut bukanlah hasil dari kebijakan eksekutif, tetapi sepenuhnya keputusan lembaga peradilan yang berwenang.

"Padahal kita tahu semuanya, kita tahu semuanya yang membuat keputusan itu adalah MK," tegasnya.

Selain itu, Jokowi juga menanggapi keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menyetujui revisi UU Pilkada. Dalam revisi tersebut, DPR RI lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia calon kepala daerah, dan bukan mengikuti putusan MK. Pilihan ini memicu kontroversi, terutama karena keputusan DPR RI dianggap tidak mengakomodasi keputusan yang telah diambil oleh MK.

Meskipun demikian, Jokowi mengungkapkan kebingungannya karena justru dirinya yang dianggap bertanggung jawab atas langkah yang diambil oleh DPR RI. "Yang saat ini juga sedang dirapatkan di DPR itu adalah wilayah legislatif, tapi tetap yang dibicarakan adalah si tukang kayu," katanya.

Bagian dari Dinamika Demokrasi

Terlepas dari segala kritik yang dialamatkan kepadanya, Jokowi dengan tenang menanggapi hal tersebut sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Ia menegaskan bahwa julukan "tukang kayu" yang kerap disematkan kepadanya adalah bagian dari warna-warni demokrasi yang harus diterima dengan lapang dada.

"Tidak apa-apa. Itu warna-warni sebuah demokrasi," ujar mantan Wali Kota Solo tersebut dengan nada ringan.

Sebagai penutup, Jokowi menegaskan kembali pentingnya menghormati setiap keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga negara. Menurutnya, setiap lembaga memiliki kewenangan masing-masing yang harus dihormati oleh seluruh pihak, dan proses konstitusional harus dijalankan dengan baik.

"Mari kita hormati keputusan, beri kepercayaan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan proses secara konstitusional," pungkas Jokowi.

Polemik Revisi UU Pilkada

Sebagai latar belakang, revisi UU Pilkada yang tengah dibahas di DPR RI mendapat perhatian luas. Semua fraksi di DPR, kecuali PDIP, sepakat dengan revisi yang mengatur batas usia calon kepala daerah berdasarkan putusan MA, bukan MK. Selain itu, revisi UU ini juga memungkinkan partai politik non-parlemen mencalonkan kepala daerah, sementara partai politik yang memiliki kursi di DPRD harus mengantongi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Langkah DPR RI ini memicu polemik, terutama terkait keberpihakan mereka terhadap putusan MA yang dianggap lebih menguntungkan partai politik tertentu, sementara putusan MK yang lebih progresif diabaikan. Hal ini menjadi isu yang terus mengemuka di tengah dinamika politik nasional yang semakin panas menjelang Pilkada serentak.

(Mond)

#Jokowi #Politik #PutusanMK #nasional