Kekerasan terhadap Jurnalis: Aparat Kepolisian Diduga Lakukan Tindakan Pembungkaman Hak Ekspresi dalam Aksi Kawal Putusan MK
Tim Advokasi dan Peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Gema Gita Persada saat jumpa pers di gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Jumat (23/8/2024)
D'On, Jakarta - Kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng proses demokrasi di Indonesia. Gema Gita Persada, Perwakilan Tim Advokasi dan Peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dengan tegas mengutuk tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap jurnalis yang sedang meliput aksi demonstrasi “Kawal Putusan MK” di depan Gedung DPR, Kamis (22/8/2024). Tindakan ini dinilai sebagai bentuk nyata dari upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan pengekangan terhadap pers, yang seharusnya dijamin oleh undang-undang.
Dalam konferensi pers yang diadakan di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (23/8/2024), Gema mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian tersebut tidak hanya menghalangi hak-hak jurnalis dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga merampas hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan transparan. "Apa yang dilakukan oleh kepolisian ini jelas bertujuan membungkam pers. Dampaknya jauh lebih besar, karena masyarakat akhirnya tidak mendapatkan informasi yang semestinya mengenai peristiwa penting yang sedang terjadi," ujarnya dengan nada prihatin.
Menurut data yang dihimpun oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), setidaknya ada tujuh orang jurnalis yang menjadi korban kekerasan fisik saat meliput aksi demonstrasi di depan Gedung DPR. Bentuk kekerasan yang diterima para jurnalis ini, antara lain berupa pemukulan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang berjaga di lokasi aksi. “Beberapa di antaranya dipukul saat sedang merekam tindakan brutal aparat,” lanjut Gema.
Hingga saat ini, LBH Pers belum mendapatkan konfirmasi mengenai apakah ada jurnalis yang turut ditangkap dalam insiden tersebut. Namun, kekerasan yang dialami oleh para jurnalis ini menimbulkan kekhawatiran yang serius akan semakin menguatnya upaya-upaya untuk membungkam pers dan menghambat distribusi informasi yang seharusnya bisa diakses oleh publik.
Aksi unjuk rasa pada Kamis (22/8/2024) dipicu oleh rencana DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Pilkada, yang muncul setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas syarat pencalonan oleh partai dalam pemilihan kepala daerah serta usia calon kepala daerah. Putusan ini bersifat final dan mengikat, namun sempat mendapatkan penolakan dari beberapa anggota DPR yang menganggap perlu dilakukan perubahan.
Namun, setelah terjadi aksi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, DPR akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan upaya tersebut dan menerima putusan MK. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah berjanji akan menyiapkan draf revisi Peraturan KPU (PKPU) yang akan disesuaikan dengan putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tersebut.
Insiden ini menyoroti semakin sempitnya ruang kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama bagi mereka yang berada di garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik. Kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di depan Gedung DPR ini bukan hanya menjadi catatan hitam bagi kebebasan pers, tetapi juga bagi demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
Pihak LBH Pers dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menyerukan agar kasus ini segera diusut tuntas dan pelakunya diberikan sanksi yang tegas. Mereka juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, terutama saat meliput aksi-aksi yang berkaitan dengan isu-isu kritis dan kebijakan negara.
(Mond)
#KekerasanTerhadapJurnalis #Peristiwa #PutusanMK