Breaking News

Kerajaan Aru: Dari Ketundukan pada Majapahit hingga Jatuh di Tangan Aceh

Perang antara Kerajaan Aru dan Kesultanan Aceh merupakan konflik besar di Sumatra pada abad ke-16. Kesultanan Aceh yang berkembang pesat, berusaha memperluas wilayahnya, sedangkan Kerajaan Aru berusaha mempertahankan kedaulatannya. Pertempuran ini mengakibatkan perubahan signifikan dalam peta politik di Sumatra.

Dirgantaraonline -
Kerajaan Aru, meski terdengar asing bagi kebanyakan orang Indonesia, memiliki jejak sejarah yang kaya dalam berbagai sumber tertulis di Nusantara. Nama Aru pertama kali muncul dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama yang dibaca oleh Th. Pigeaud pada tahun 1960-63, di mana kerajaan ini disebut sebagai salah satu daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Kemudian, sekitar seabad setelah itu, nama Aru kembali muncul dalam kronik Dinasti Ming, Tiongkok.

Aru dalam Catatan Tionghoa

W.P. Groeneveldt dalam bukunya Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018) mencatat bahwa Aru disebut dalam tiga sumber utama Tiongkok, yaitu Yingya Shenglan, Xingcha Shenglan, dan Ming-Shih. Dari ketiga sumber ini, disebutkan bahwa Aru adalah sebuah negara kecil di pesisir timur Sumatra yang ekonominya bergantung pada perdagangan kapur barus yang didistribusikan melalui Selat Malaka. Berlokasi di sekitar Kabupaten Deli Serdang saat ini, kerajaan ini aktif melakukan diplomasi dengan mengirimkan hadiah kepada kaisar Ming pada abad ke-15.

Transformasi dan Peran Aru dalam Konflik Regional

Pada abad ke-16, Aru berubah dari kerajaan kecil yang tidak signifikan menjadi aktor penting dalam konflik berkepanjangan di Selat Malaka selama masa pendudukan pertama orang Eropa di daerah tersebut. Meskipun telah memeluk Islam sejak kedatangan Cheng Ho pada abad ke-15, Aru tetap teguh menghadapi arus Kesultanan Aceh yang menjadi pusat perpolitikan Islam di dunia Melayu. Aru terbukti menjadi batu sandungan bagi Aceh dalam konfrontasinya dengan raja-raja di Semenanjung Malaya dan Portugis di Melaka.

Kerajaan yang Haus Perang

Cerita keagungan Aru di abad ke-16 diceritakan panjang lebar oleh Ferñao Mendez Pinto dalam Peregrinação yang terbit pada abad ke-17. Namun, Tome Pires dalam Suma Oriental sebenarnya lebih dahulu menyebut soal Aru, walau lebih singkat. Menurut terjemahan Armando Cortesao terhadap *Suma Oriental* (2018), Kerajaan Aru sangat gemar berperang dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Pires menggambarkan bahwa di dunia Melayu, raja-raja sering memiliki musuh bebuyutan, misalnya Pedir melawan Kedah, Pahang melawan Siam, dan Palembang melawan Lingga.

Permusuhan Aru-Melaka

Menurut Pires, musuh bebuyutan Aru adalah Kesultanan Melaka. Konflik antara kedua belah pihak sering terjadi, terutama dipicu oleh aktivitas perompakan yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Aru di sekitar pesisir barat Semenanjung Malaya. Pires menegaskan bahwa permusuhan ini bukan karena perebutan wilayah, melainkan karena mata pencaharian utama orang Aru adalah merompak.

Perubahan Dinamika Kekuasaan

Sejarah berubah ketika Portugis berhasil menjatuhkan Kesultanan Melaka. Penguasa baru di Semenanjung Malaya ini berbeda dengan Melaka, karena armada Aru bisa dengan mudah dipatahkan oleh Portugis. Namun, ancaman nyata bagi Aru bukanlah Portugis, melainkan Kesultanan Aceh yang sedang meniti puncak kejayaannya. Pada tahun 1524, Aceh berhasil mencaplok Kesultanan Pasai, bekas juragan Aru.

Perang Aceh-Aru

Konflik antara Aru dan Aceh memuncak pada tahun 1539 ketika Aru mengirim surat ke dua pejabat Portugis di Melaka, yakni Pedro da Faria dan Estevano da Gama, meminta bantuan untuk menghadapi Aceh. Pinto ditugaskan untuk mengantar bantuan persenjataan dari Portugis pada 10 Oktober 1539. Sesampainya di Aru, Pinto mendapati bahwa pasukan Aceh yang bersiap menyerang Aru berjumlah 12.000 orang, termasuk 4.000 pasukan asing dari Turki, Abisinia, Gujarat, dan Malabar.

Pengepungan dan Kejatuhan Aru

Pasukan Aceh berhasil mengepung ibu kota Aru di sekitaran Deli saat ini. Setelah pengepungan selama 17 hari dan kematian Mahmud Khan, pemimpin pasukan asing Aceh, pasukan Aceh meluncurkan serangan total yang mengakibatkan Raja Aru gugur. Pasukan Aru yang bertahan mundur di bawah arahan Ratu Aru dan berlindung di dalam benteng Portugis di Melaka.

Upaya Merebut Kembali Aru

Ratu Aru kemudian mencari sekutu baru untuk merebut kembali ibu kota Aru. Sultan Johor setuju untuk membantu dengan syarat Ratu Aru bersedia dipersunting olehnya. Pada akhir Maret 1540, pasukan gabungan Aru dan Johor berhasil memukul mundur pasukan Aceh. Namun, Aceh kembali mengirim 15.000 pasukan yang disergap oleh pasukan Siak, Perak, dan Johor yang ditempatkan di sepanjang Sungai Sei Petani.

Akhir Kerajaan Aru

Serangan Aceh pada tahun 1574 berhasil membuat Johor runtuh dan menawan Sultan Johor serta Ratu Aru. Dengan ditawannya dua pemimpin kerajaan ini ke Aceh, maka Kerajaan Aru jatuh ke tangan Kesultanan Aceh.

Kejayaan dan kejatuhan Kerajaan Aru di abad ke-16 menunjukkan dinamika politik dan militer yang kompleks di Selat Malaka, dengan berbagai aktor yang berperan dalam konflik dan diplomasi regional. Aru, meski kecil, memainkan peran signifikan dalam sejarah kawasan ini.

(Mond)

#Sejarah #KerajaanAru