Breaking News

KPU Waspada Sanksi DKPP, Tunda Tindak Lanjut Putusan MK soal Pencalonan Kepala Daerah

Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, bersama Komisioner KPU Betty Epsilon dan Yulianto Sudrajat, memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (20/8/2024). ANTARA FOTO.

D'On, Jakarta -
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah dihadapkan pada dilema besar terkait tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat pencalonan kepala daerah. Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, KPU memilih untuk tidak langsung menindaklanjutinya tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI. Keputusan ini diambil untuk menghindari potensi sanksi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sebuah pelajaran pahit yang pernah dialami KPU dalam kasus serupa sebelumnya.

Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan bahwa langkah konsultasi ini penting untuk memastikan tidak ada kesalahan prosedural yang dapat berujung pada sanksi etik. "Kami sudah bersurat kepada DPR pada tanggal 21 Agustus untuk berkonsultasi terkait tindak lanjut putusan MK ini," ungkap Afif di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2024). 

Afif menyoroti pengalaman sebelumnya saat KPU langsung menerapkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2024 yang mengatur batas usia calon presiden dan wakil presiden tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR. Tindakan tersebut berujung pada penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, yang kemudian memicu teguran keras dari DKPP. 

"Karena saat itu kami tidak berkonsultasi dengan DPR sebelum menerapkan putusan MK, DKPP menyatakan kami melakukan pelanggaran etik. Akibatnya, KPU menerima peringatan keras, dan khusus untuk Hasyim Ay’ari yang saat itu menjabat sebagai Ketua KPU, dikenai peringatan keras terakhir," jelas Afif.

Situasi ini membuat KPU semakin berhati-hati. "Kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Oleh karena itu, kami akan mengedepankan konsultasi dengan DPR dan pemerintah, yang merupakan pembentuk undang-undang, sebelum melangkah lebih jauh," tambahnya.

Putusan MK yang dimaksud kali ini, yaitu Putusan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024, membawa perubahan signifikan pada aturan pencalonan kepala daerah. MK memutuskan untuk menurunkan ambang batas syarat pencalonan yang sebelumnya berada pada angka 20 persen menjadi hanya 7,5 persen. Selain itu, MK juga memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik yang menjadi peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di DPRD. Syarat usia calon gubernur dan wakil gubernur pun diubah menjadi minimal 30 tahun pada saat penetapan calon.

Perubahan besar ini diinisiasi oleh Partai Buruh dan Partai Gelora yang mengajukan permohonan ke MK. Meskipun sebagian permohonan mereka ditolak, MK mengabulkan beberapa poin penting yang menjadi perhatian utama partai-partai tersebut.

Dengan perubahan regulasi yang signifikan ini, KPU dihadapkan pada tugas berat untuk menyesuaikan peraturan tanpa melanggar prosedur hukum yang berlaku. Langkah konsultasi dengan DPR kali ini diharapkan dapat memastikan bahwa penerapan putusan MK berjalan sesuai dengan koridor hukum, tanpa menimbulkan polemik yang dapat merusak kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu.

KPU kini berada di persimpangan yang penuh tantangan. Keputusan untuk menunda tindak lanjut putusan MK hingga berkonsultasi dengan DPR menunjukkan kehati-hatian mereka dalam menjaga integritas proses demokrasi di Indonesia. Masyarakat pun kini menantikan bagaimana hasil dari konsultasi ini akan mempengaruhi jalannya Pilkada mendatang.

(Mond/Tirto)

#KPU #PutusanMK #Politik #Nasional