Breaking News

Menguatkan Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Tsunami: Pelajaran dari Megathrust Siberut

Gambar  Tsunami Travel Time yang diperoleh dengan menggunakan software WinITDB dengan interval 5 menit

Sumatera Barat -
Masyarakat Sumatera Barat, khususnya mereka yang tinggal di pesisir pantai, kembali diingatkan tentang potensi bencana gempabumi besar dan tsunami yang dapat terjadi di sekitar Kepulauan Siberut. Kekhawatiran ini timbul setelah beberapa kejadian gempabumi signifikan di pantai selatan Jawa—Cilacap pada 25 Juli dan Malang pada 26 Juli—serta di Papua pada 28 Juli 2015. Berita ini semakin menguat karena berbagai media melaporkan kemungkinan terjadinya gempabumi dengan kekuatan hingga 9.0 SR di wilayah Sumatera.

Hingga saat ini, prediksi waktu, lokasi, dan kekuatan gempabumi masih menjadi tantangan besar. Bahkan negara-negara dengan teknologi seismik canggih seperti Amerika Serikat dan Jepang belum mampu memprediksi kapan dan di mana gempabumi akan terjadi. Meskipun prediksi yang akurat belum mungkin, penelitian dapat memberikan gambaran mengenai potensi bencana. Salah satu metode adalah memanfaatkan sejarah kegempaan dan konsep "seismic gap"—area tanpa aktivitas gempabumi dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan daerah sekitarnya.

Data menunjukkan bahwa dari tahun 1973 hingga 2014, aktivitas gempabumi di sekitar Kepulauan Siberut terbilang rendah. Namun, sejarah mencatat bahwa kawasan ini pernah mengalami gempabumi besar pada tahun 1797 dan 1883, dengan magnitudo mencapai 8.7–9.1 SR dan memiliki periode ulang sekitar 200-300 tahun. Penelitian para ahli seismik mengindikasikan bahwa zona Megathrust Mentawai—termasuk Kepulauan Siberut—masih menyimpan potensi gempabumi besar dengan magnitudo hingga 8.9 SR.

Serangkaian gempabumi di sepanjang jalur subduksi Megathrust Mentawai dianggap sebagai indikasi bahwa kuncian-kuncian tektonik yang menghambat pergerakan telah mulai pecah. Hal ini dapat memperbesar kemungkinan terjadinya gempabumi besar dan tsunami. Penelitian terbaru dari Amerika Serikat dan Singapura, yang tergabung dalam MEntawai GAp Tsunami Earthquake Risk Assessment (MEGA-TERA), menggunakan kapal R/V Falkor, juga menyimpulkan bahwa ancaman gempabumi besar di Kepulauan Mentawai dan Siberut mungkin terjadi dalam 20 tahun ke depan.

Dengan adanya penelitian ini, sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan bencana. Meski hasil penelitian ini membawa kepastian yang tinggi, tidak ada salahnya jika kita menggunakan data ini untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Gelombang seismik dan tsunami memiliki perbedaan mendasar dalam kecepatan rambatnya: gelombang seismik bergerak pada kecepatan 25.200 km/jam, sedangkan tsunami pada kecepatan 720 km/jam. Perbedaan ini memungkinkan pemanfaatan waktu untuk peringatan dini tsunami. BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menggunakan selisih waktu ini untuk memberikan peringatan tsunami, khususnya untuk daerah pantai Barat Sumatera.

Pemodelan penjalaran tsunami dengan sumber gempabumi di sekitar Kepulauan Siberut (magnitudo 8.9 SR) menunjukkan estimasi waktu kedatangan gelombang tsunami di beberapa kota di Sumatera Barat sebagai berikut:

- Pulau Siberut: 5–7 menit

- Pulau Sipora: 5–12 menit

- Kota Padang: 20–22 menit

- Kota Pariaman: 20 menit

- Kabupaten Agam: 20–26 menit

- Kabupaten Pasaman Barat: 25–28 menit

- Kabupaten Pesisir Selatan: 25–35 menit

Estimasi waktu ini tentu masih dapat diperdebatkan, mengingat sumber gempa yang digunakan adalah perkiraan. Namun, ini memberikan gambaran penting bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk memanfaatkan waktu yang ada untuk evakuasi.

Mengacu pada pemodelan ini, beberapa kota di Sumatera Barat mungkin akan mengalami tsunami dalam waktu kurang dari 30 menit setelah gempabumi. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera melakukan evakuasi menuju tempat yang lebih tinggi setelah merasakan guncangan gempa. Mengandalkan peringatan dari BMKG yang datang beberapa menit setelah gempa berarti kita telah kehilangan waktu yang berharga untuk evakuasi.

Walaupun Indonesia telah memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebut InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), kesadaran dan kesiapsiagaan individu tetap merupakan kunci utama. Setelah merasakan guncangan gempa yang kuat, masyarakat di daerah pantai harus langsung menuju tempat-tempat yang lebih tinggi tanpa menunggu informasi resmi.

Kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi potensi bencana gempa dan tsunami harus terus ditingkatkan, dengan belajar dari pengalaman bencana sebelumnya seperti tsunami Aceh 2004. Kearifan lokal seperti “Smong” di Pulau Simeuleu telah terbukti efektif dalam menyelamatkan banyak nyawa. Oleh karena itu, penting untuk terus menanamkan budaya siaga bencana melalui pendidikan dan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat.

Dalam menghadapi ancaman gempabumi dan tsunami, mari kita tingkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan secara individu dan kolektif. Dengan memanfaatkan hasil penelitian secara bijaksana dan menerapkan langkah-langkah mitigasi yang tepat, kita dapat mengurangi dampak bencana dan melindungi keselamatan bersama.

Oleh: Rahmat Triyono (Kasgeof Padang Panjang 2014-2018)

#MitigasiBencana #BMKG #Megathrust #SumateraBarat