Breaking News

PDIP Tolak Keputusan Baleg DPR, Pertahankan Putusan MK Terkait Revisi UU Pilkada

PDIP Tolak Keputusan Baleg DPR

D'On, Jakarta -
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak tegas keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). PDIP menegaskan komitmennya untuk patuh terhadap keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Latar Belakang Perselisihan 

Badan Legislasi DPR, bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah, menyepakati revisi UU Pilkada dalam rapat kerja yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Rabu (21/8/2024). Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan di antara mayoritas fraksi di DPR untuk melakukan revisi UU Pilkada. Namun, Fraksi PDIP menjadi satu-satunya fraksi yang menolak hasil revisi tersebut.

Keberatan PDIP berpusat pada dua hal krusial yang menurut mereka menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, terkait usia minimum calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub-cawagub), dan kedua, mengenai ambang batas pencalonan atau threshold kepala daerah.

Perdebatan Usia Minimum Cagub-Cawagub

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah mengeluarkan putusan yang menetapkan usia minimum bagi cagub-cawagub adalah 30 tahun pada saat penetapan pasangan calon terpilih. Namun, DPR dan pemerintah memilih untuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengatur usia minimum tersebut dihitung sejak pelantikan pasangan calon kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan.

Perbedaan ini bukan sekadar soal teknis, melainkan prinsip yang berpengaruh signifikan terhadap potensi calon pemimpin daerah di Indonesia. Dengan mengikuti putusan MA, calon yang belum mencapai usia 30 tahun pada saat pendaftaran tetap bisa maju, selama mereka memenuhi syarat usia pada saat pelantikan. Sebaliknya, putusan MK memastikan hanya calon yang sudah mencapai usia minimum pada saat penetapan yang bisa dilantik, sehingga memberikan kepastian hukum sejak awal.

Ambang Batas Pencalonan: Potensi Ketidakadilan?

Selain persoalan usia, revisi UU Pilkada juga menyentuh ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah. DPR dan pemerintah sepakat bahwa putusan terbaru MK soal ambang batas hanya berlaku bagi partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di DPRD atau parpol nonparlemen. Bagi parpol yang memiliki kursi di DPRD, aturan ambang batas tetap mengacu pada syarat minimal 20 kursi atau 25 persen suara.

Keputusan ini dianggap PDIP sebagai bentuk diskriminasi yang dapat merugikan partai-partai besar yang telah memiliki basis dukungan kuat di parlemen daerah. PDIP menilai, aturan yang berbeda ini berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam proses demokrasi dan mengganggu prinsip kesetaraan di antara partai politik.

PDIP Siap Ambil Sikap Tegas

Dalam menanggapi keputusan Baleg DPR yang dianggap mengabaikan putusan MK, PDIP melalui akun resminya di platform X, menyatakan akan melayangkan nota penolakan resmi terhadap revisi UU Pilkada. Sikap ini didasarkan pada keyakinan PDIP bahwa keputusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dihormati oleh semua pihak, termasuk oleh lembaga legislatif dan eksekutif.

PDIP menekankan bahwa revisi yang mengabaikan putusan MK dapat berpotensi melemahkan supremasi hukum dan merusak tatanan demokrasi yang sudah dibangun. Langkah PDIP ini menegaskan komitmennya untuk mempertahankan integritas proses demokrasi di Indonesia.

Pertarungan Integritas Hukum dan Politik

Kasus ini mencerminkan pertarungan antara integritas hukum yang diwakili oleh putusan MK dan dinamika politik yang dimainkan di parlemen. Sikap PDIP yang menolak mengikuti arus mayoritas di DPR menunjukkan komitmen partai ini untuk menjaga supremasi hukum dan keadilan dalam pelaksanaan Pilkada. Ke depan, akan menarik untuk melihat bagaimana dinamika ini berkembang dan apa dampaknya terhadap proses demokrasi di Indonesia.

(Mond/B1)

#PDIP #Politik #PutusanMK #nasional #BalegDPR