Sengketa Batas Usia Calon Kepala Daerah: Ancaman Perlawanan Rakyat jika DPR Anulir Putusan MK
Gedung DPR
D'On, Jakarta - Kembali memanas, polemik mengenai revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) di Indonesia kini memasuki babak baru. DPR RI, yang sedang menggodok revisi tersebut, tengah menjadi sorotan tajam akibat dugaan upaya menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah dianggap final dan mengikat. Isu ini menjadi semakin kontroversial ketika Sahrin Hamid, Juru Bicara Anies Baswedan, secara tegas mengingatkan akan potensi bangkitnya perlawanan rakyat jika DPR memaksakan lahirnya produk hukum yang bertentangan dengan keputusan MK.
Dalam pernyataannya, Sahrin menyebutkan bahwa jika DPR RI tetap bersikukuh melahirkan produk hukum yang melawan putusan MK, hal ini tidak hanya menabrak norma hukum yang berlaku, tetapi juga berpotensi memicu gerakan rakyat untuk menentang kebijakan tersebut. "Rakyat harus bersatu mengawal putusan MK. Kita sudahi akal-akalan rezim ini yang telah mengebiri hukum dan aspirasi rakyat," tegas Sahrin dinukil dari Okezone pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Kontroversi di Balik Revisi UU Pilkada
Polemik ini bermula dari upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada, yang salah satu poin krusialnya adalah soal batas usia pencalonan kepala daerah. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 secara tegas telah menetapkan aturan terkait ambang batas pencalonan dan batas usia calon kepala daerah, yang kini menjadi sorotan utama dalam revisi ini.
Namun, alih-alih merujuk pada putusan MK yang final dan mengikat, mayoritas fraksi di DPR, kecuali PDIP, justru memilih untuk merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA). Ini menimbulkan kontroversi karena putusan MK sudah seharusnya menjadi acuan hukum yang sah dan berlaku.
Sahrin Hamid mengkritik langkah DPR ini sebagai bentuk "akal bulus elit" yang mencoba memanipulasi hukum demi kepentingan politik tertentu. "Putusan MK bersifat final dan binding serta langsung berlaku. Sehingga bila ada upaya untuk membentuk hukum dengan melawan putusan MK, artinya, mengangkangi hukum," ungkapnya dengan nada prihatin.
Implikasi Revisi UU Pilkada Terhadap Pilkada 2024
Keputusan DPR untuk merujuk pada putusan MA membuka peluang besar bagi beberapa calon kepala daerah yang sebelumnya terhambat oleh aturan batas usia yang ditetapkan oleh MK. Salah satunya adalah Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang dengan keputusan ini, kembali memiliki peluang untuk maju dalam Pilkada 2024.
Hal ini disepakati dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU Pilkada antara Baleg DPR RI bersama pemerintah yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu, 21 Agustus 2024. Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi, yang memimpin rapat Panja tersebut, mengkonfirmasi bahwa mayoritas fraksi di DPR merujuk pada putusan MA, dengan perwakilan DPD RI yang juga menyetujuinya. Pemerintah, dalam hal ini, menyesuaikan diri dengan suara mayoritas di DPR RI.
"Setuju ya merujuk pada Mahkamah Agung ya? Lanjut," ucap Baidowi dalam rapat tersebut, yang kemudian direspon dengan persetujuan mayoritas anggota yang hadir.
Potensi Dampak dan Perlawanan Rakyat
Dengan berkembangnya situasi ini, ancaman perlawanan rakyat yang disampaikan oleh Sahrin Hamid tidak bisa dianggap enteng. Jika mayoritas masyarakat merasa bahwa proses legislasi yang sedang berjalan ini telah mengangkangi hukum dan putusan MK, potensi bangkitnya gerakan rakyat yang lebih besar dari sebelumnya sangat mungkin terjadi.
Dalam konteks politik yang semakin memanas jelang Pilkada 2024, situasi ini tidak hanya mencerminkan dinamika kekuatan politik di Indonesia, tetapi juga menjadi ujian bagi kredibilitas DPR RI dan pemerintah dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di negara ini.
Bagaimana DPR dan pemerintah merespons tekanan publik serta menjaga integritas proses hukum di tengah tarik-menarik kepentingan politik akan menjadi penentu penting dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
(Mond/okz)
#PutusanMK #Politik #UUPilkada #Nasional