Breaking News

Ciri Orang Bijaksana: Malu Mengeluh kepada Allah

Ilustrasi 

Dirgantaraonline -
Orang yang bijaksana memiliki banyak ciri, salah satu yang menonjol adalah rasa malu untuk mengeluh atau menyampaikan kebutuhan kepada Allah. Ciri ini menunjukkan tingkat keimanan dan ketundukan yang mendalam kepada kehendak-Nya, sebuah kualitas yang seringkali hanya dimiliki oleh mereka yang mencapai derajat makrifat, yakni kesadaran dan pengenalan mendalam akan Allah.

Ibnu Athaillah, seorang ulama besar dalam tasawuf, menjelaskan fenomena ini dalam kitabnya, Al-Hikam, di mana ia menyebutkan: 

"Rubbama istahyal-aarifu an ya’fa'a haajaatahu ila maulahu iktifaa-an bimasyiatihi fakayfa laa yastahyi an yarfa’aha ila khaaliqatihi?"

Yang artinya: "Ada kalanya seorang arif (yang mengenal Allah) merasa malu untuk menyampaikan kebutuhannya kepada Allah karena merasa cukup dengan kehendak Allah atas dirinya. Lalu bagaimana mungkin seorang arif itu mengungkapkan kebutuhannya pada sesama makhluk?"

Mengapa Seorang Arif Malu Meminta kepada Allah?

Makna di balik ucapan Ibnu Athaillah ini sangat mendalam. Seorang arif, atau orang yang telah mengenal Allah dengan sesungguhnya, menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya adalah bagian dari takdir Allah yang penuh hikmah. Mereka melihat bahwa Allah sudah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, bahkan sebelum sang hamba memintanya. Rasa malu ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan refleksi dari keyakinan penuh bahwa apa pun yang diberikan Allah, entah itu terlihat sebagai nikmat atau ujian, adalah bagian dari kehendak-Nya yang tak mungkin salah.

Seorang arif merasa malu karena meminta sesuatu dari Allah bisa dianggap sebagai ketidakpuasan terhadap ketetapan-Nya, meskipun dalam kerangka syariat, berdoa dan memohon adalah hal yang dianjurkan. Rasa malu ini lebih kepada ketundukan penuh dan sikap menerima segala yang Allah berikan dengan lapang dada, tanpa syarat dan tanpa rasa kurang. 

Pandangan Ulama Tasawuf: Menguatkan Kebergantungan pada Allah

Pandangan ini juga didukung oleh ulama tasawuf lainnya, seperti Asy-Syadzili, yang mengatakan:

"Keluarkan semua makhluk dari hatimu dan kuatkan asamu terhadap Tuhanmu agar Dia memberimu selain apa yang telah ditentukan-Nya untukmu."

Pernyataan ini menekankan pentingnya membersihkan hati dari kebergantungan terhadap makhluk, baik itu dalam bentuk harapan maupun ketakutan. Bagi seorang arif, bergantung kepada selain Allah adalah bentuk kekurangan dalam iman, karena sejatinya makhluk hanyalah perantara dan mereka sendiri adalah makhluk yang lemah, fakir, dan serba membutuhkan.

Tidak Mengeluh kepada Sesama Makhluk

Jika seorang arif saja merasa malu untuk menyampaikan kebutuhannya kepada Allah, apalagi kepada sesama makhluk. Mereka memahami bahwa makhluk lain tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mengubah takdir. Oleh karena itu, seorang arif tidak akan pernah mengadukan kebutuhannya kepada manusia lain, apalagi berharap mendapatkan solusi dari mereka. Dalam pandangan mereka, makhluk adalah entitas yang sama-sama bergantung kepada Allah, tidak ada alasan untuk berharap pada yang lemah.

Ibnu Athaillah berpesan dengan tegas: Jangan kotori iman dengan ketamakan terhadap makhluk dan jangan pernah bersandar kecuali hanya kepada Allah Swt. Pesan ini mengingatkan bahwa kebergantungan kepada selain Allah tidak hanya menurunkan derajat keimanan, tetapi juga menjauhkan seseorang dari ketenangan hati yang sejati.

Menjadi arif bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga sikap hati yang penuh kesadaran terhadap Allah. Seorang arif tidak mengeluh atau meminta kecuali hanya kepada-Nya, bahkan rasa malunya menghalangi untuk meminta secara eksplisit karena merasa cukup dengan kehendak Allah yang sudah mengatur segalanya. Mereka adalah contoh nyata dari ketundukan, keikhlasan, dan penerimaan total terhadap takdir, yang seharusnya menjadi teladan bagi kita semua dalam mengarungi kehidupan. 

Maka, marilah kita berusaha untuk membersihkan hati dari ketergantungan kepada makhluk, dan memperkuat rasa percaya dan bersandar hanya kepada Allah. Karena sejatinya, segala sesuatu yang kita butuhkan sudah berada dalam pengaturan-Nya yang sempurna.

(Rini)

#Islami #Religi