DPR Tuding MK-MA Stempel Pemerintah: Mencerminkan Cermin Buram Sendiri
Ilustrasi Gedung DPR RI
D'On, Jakarta - DPR RI kembali menjadi sorotan. Bukan karena prestasinya, tapi justru karena kritik pedas yang dilayangkan kepada lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). DPR menyebut kedua lembaga tersebut sebagai "tukang stempel pemerintah", tudingan yang cepat menuai kritik balik dari para pengamat hukum dan pegiat demokrasi yang menilai bahwa justru DPR lah yang sering kali "bersolek" tanpa esensi dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
Kritik tajam pertama kali muncul dari Benny Kabur Harman, anggota Komisi III DPR RI dari Partai Demokrat, dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (4/9/2024). Benny menyoroti program MK dan MA yang menurutnya hanya menyusun anggaran sesuai agenda strategis nasional, yang sejatinya ditetapkan oleh pemerintah. Ia menuding bahwa dengan demikian, MK dan MA ditempatkan sebagai subordinasi kekuasaan eksekutif.
"MA tukang stempel, sama juga dengan MK, tukang stempel kehendak penguasa," tegas Benny, mengibaratkan langkah lembaga yudikatif seperti kembali ke zaman Orde Lama, di mana independensi lembaga negara sangat dipertanyakan.
Namun, kritik Benny justru mendapat sorotan balik. Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai kritik Benny tampak seperti mencari sensasi. “Wajar jika publik menilai ucapan anggota DPR terhadap MK dan MA kesannya sekadar mencari sensasi, atau bahkan mencari-cari kesalahan,” ujarnya, Kamis (5/9/2024). Menurut Kholil, MK dan MA sejatinya menjalankan fungsinya selama anggaran mereka dipertanggungjawabkan untuk penegakan hukum dan keadilan.
Kholil menekankan bahwa label "tukang stempel" lebih pantas disematkan pada lembaga yang tidak menunjukkan independensi saat berhadapan dengan kekuasaan, bukan sekadar dari bagaimana program atau anggarannya disusun. Ia mencontohkan putusan MK Nomor 60/2024 dan Nomor 70/2024 yang dinilai berpihak pada keadilan dan tidak tunduk pada kehendak penguasa.
Justru, lanjut Kholil, DPR lah yang sering kali dianggap bertindak sebagai "tukang stempel pemerintah." Contohnya, setelah terbitnya putusan MK, DPR dengan sigap merevisi UU Pilkada tanpa perdebatan berarti. Begitu pula dalam kasus pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) yang melibatkan pengeluaran anggaran besar namun minim perdebatan di DPR, seolah DPR hanya menuruti kehendak eksekutif tanpa pertimbangan kritis.
Rizky Argama, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), menambahkan bahwa tudingan Benny terhadap MK dan MA soal anggaran masuk dalam kerangka check and balances. Namun, Rizky menyoroti bahwa dalam skema anggaran saat ini, seluruh lembaga negara termasuk MA dan MK harus mengacu pada dokumen perencanaan nasional seperti RPJPN dan RPJMN yang penyusunannya dikoordinasikan oleh Bappenas di bawah kendali pemerintah.
“Sehingga, lembaga yudikatif pun harus menyelaraskan rencana strategisnya dengan agenda nasional. Namun, ini tidak lantas berarti mereka menjadi subordinasi eksekutif,” jelas Rizky. DPR sendiri, tegas Rizky, justru harus lebih kritis dan konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasan anggaran jika ingin mengoreksi ketidakmandirian lembaga lain.
Evaluasi dan Cerminan Diri
DPR telah berulang kali mengesahkan undang-undang kontroversial yang dinilai lebih mengakomodasi kepentingan oligarki dibandingkan aspirasi rakyat. Pembentukan UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga UU Minerba menjadi contoh bagaimana proses legislasi lebih sering dikritik sebagai autocratic legalism—proses legislasi yang dilakukan dengan arogan dan minim partisipasi publik. Pakar Hukum Tata Negara, Herlambang P Wiratraman, menyebut bahwa praktik ini mencerminkan ketidakmandirian legislatif dalam menghadapi tekanan eksekutif.
“Ini bukan sekadar soal stempel atau tidak, tapi tentang keberanian dan komitmen DPR dalam memperjuangkan kepentingan rakyat melalui produk-produk legislasi yang seharusnya menjadi instrumen pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat,” ucap Herlambang. Dalam konteks ini, MK dan MA meski tidak lepas dari kritik, masih memiliki pencapaian putusan yang dianggap berpihak pada konstitusi dan keadilan. Sebaliknya, sulit untuk memberikan apresiasi serupa kepada DPR yang kerap kali gagal membangun perdebatan substantif dan cenderung mengamini keinginan eksekutif.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menekankan bahwa DPR sering kali juga menggunakan kekuasaannya dalam pengelolaan anggaran untuk mengintimidasi lembaga lain, misalnya ancaman pengurangan anggaran terhadap KPK. Sehingga, kritik DPR terhadap MK dan MA soal anggaran, menurut Lucius, seharusnya menjadi momen refleksi bagi DPR untuk menjalankan fungsi anggarannya dengan lebih bertanggung jawab dan berpihak pada publik.
“Kalau DPR hanya bisa berkomentar seperti yang disampaikan Benny di atas, ya sama saja. DPR juga jadi tukang stempel pemerintah,” tutup Lucius.
Kritik terhadap lembaga negara memang perlu, tetapi kritik yang datang tanpa refleksi terhadap peran dan kinerja diri sendiri bisa jadi kontraproduktif. Dalam demokrasi, semua lembaga memiliki peran check and balances yang saling melengkapi, bukan sekadar saling menuding tanpa introspeksi yang mendalam.
(Mond/Tirto)
#DPR #Politik #MahkamahAgung #MahkamahKonstitusi #Nasional