Mahfud MD: Mulyono Makin Parah Bermain di Panggung Politik
D'On, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, tak segan-segan melontarkan kritik tajam kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak kekalahannya dalam Pilpres 2024, Mahfud terus menyerang dengan berbagai pernyataan yang mengarah kepada isu etik dan keadilan di ranah politik.
Mahfud mengungkapkan bahwa kemarahannya terhadap Jokowi sudah mengakar dalam. Ia menyoroti pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai Wakil Presiden dalam Pilpres 2024. Menurut Mahfud, langkah tersebut mencerminkan pelanggaran etik berat, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Gibran boleh mencalonkan diri.
"Ya, saya sudah sangat marah. Karena ini sudah keterlaluan. Begitu Gibran diputuskan boleh mencalonkan diri oleh MK, saya mengatakan, meskipun putusan peradilan itu salah, tetap harus diikuti. Tapi ini jelas salah, karena MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi) memutuskan bahwa pencalonan Gibran itu pelanggaran etik yang berat," tegas Mahfud dalam podcast 'Terus Terang Mahfud MD', yang dikutip pada Kamis (12/9).
Pada Pilpres 2024, Mahfud maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan. Namun, pasangan ini berakhir di posisi terbawah, sementara KPU menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran sebagai pemenang. Meskipun ada gugatan dari kubu Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, Mahfud menegaskan bahwa putusan MK untuk mengukuhkan kemenangan Prabowo-Gibran harus dihormati.
"Sejak putusan MK keluar, saya sudah mulai mengingatkan agar jangan main-main dengan hukum. Saya ini biasanya mengambil jalan tengah, tapi kali ini, negara harus diatur dengan benar," ujar Mahfud. Ia menambahkan, "Pak Mulyono itu semakin parah mainnya."
Mulyono adalah nama masa kecil Jokowi, yang kemudian diganti oleh orang tuanya menjadi Joko Widodo karena sering sakit-sakitan.
Kritik Mahfud Terhadap Dugaan Cawe-cawe Jokowi
Mahfud menduga bahwa Jokowi tidak hanya campur tangan di Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan Gibran, tetapi juga terlibat dalam langkah-langkah untuk memuluskan pencalonan putra bungsunya, Kaesang Pangarep, di Pilkada serentak. Dugaan ini mencuat setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan terkait batas usia calon kepala daerah, menurunkan syarat usia minimal 30 tahun pada saat pelantikan, bukan pada saat penetapan pasangan calon.
"Secara politik, itu diyakini ada desain dari Jokowi. Bagaimana mungkin seorang Hakim Agung memutus sesuatu yang menurut undang-undang hanya boleh dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi? Ini jelas ada permainan. Dan kalau dilihat siapa yang paling diuntungkan, jelas keluarga Pak Jokowi," ujar Mahfud.
Tensi Kritik Makin Tinggi
Mahfud menegaskan bahwa kritik kerasnya bukan karena kekalahannya dalam Pilpres 2024, tetapi didorong oleh peranannya sebagai warga negara yang melihat adanya ketidakadilan. "Sebagai warga negara, saya melihat mainnya sudah rusak. Sehingga saya harus semakin keras," ungkapnya.
Ia mengutip hadis Nabi Muhammad tentang tiga cara menghadapi kemungkaran: dengan kekuasaan, dengan lisan, atau dengan doa. Mahfud memilih untuk menggunakan lisan, meski dengan nada yang lebih tegas. "Kalau dengan nada netral tidak didengar, ya keras saja sekalian," pungkas Mahfud.
Refleksi dan Pesan Mahfud
Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud merasa perlu bersikap lebih blak-blakan terhadap apa yang ia lihat sebagai permainan politik yang merusak tatanan hukum dan etika di negeri ini. Dengan suara yang lantang, ia menyerukan agar publik lebih kritis terhadap peran kekuasaan dalam proses hukum dan demokrasi.
"Ini permainan yang menjadi pergunjingan banyak orang, tapi seolah-olah diabaikan. Saya harus lebih vokal dan terus bersuara untuk mengingatkan publik bahwa ada yang tidak beres," tutup Mahfud, menegaskan bahwa kritiknya adalah bagian dari perjuangan mempertahankan integritas hukum dan etika di Indonesia.
(Mond)
#MahfudMD #Politik #Nasional #Jokowi #Mulyono