Breaking News

MPR Pulihkan Nama Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur: Sejarah Dibingkai Ulang

Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD 2024 di Gedung Nusantara, Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO.


D'On Jakarta -
Dalam sidang paripurna MPR RI yang dipimpin oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada 25 September 2024, ada momen yang sarat makna sejarah bagi perjalanan politik Indonesia. Sidang ini, yang juga merupakan sidang terakhir bagi anggota MPR periode 2019-2024, tak hanya sekadar menyampaikan laporan badan pengkajian MPR RI dan pandangan umum dari fraksi atau kelompok DPD. Ada keputusan yang melampaui sekadar formalitas, menggali sejarah dalam-dalam dan menorehkan revisi yang membingkai kembali citra tiga tokoh besar Indonesia: Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur.

Tap MPR Nomor XXXIII/1967 Dicabut: Pemulihan Citra Sukarno dari Tuduhan PKI

Salah satu keputusan yang mengguncang sejarah Indonesia adalah pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/1967. Ketetapan ini sebelumnya mencabut kekuasaan Presiden Sukarno karena tuduhan keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-G30S. Bamsoet menegaskan bahwa keputusan tersebut sudah dilakukan pada 2003, yang secara yuridis membersihkan nama Proklamator Indonesia dari tuduhan yang tak pernah terbukti di pengadilan.

“Secara hukum, tuduhan bahwa Bung Karno bersekutu dengan PKI tidak pernah terbukti,” ujar Bamsoet dengan nada tegas, diiringi oleh suasana sidang yang penuh rasa hormat. Dengan dicabutnya Tap MPRS tersebut, Sukarno, sosok yang selalu dikaitkan dengan kesetiaan pada cita-cita republik, akhirnya mendapat rehabilitasi penuh secara hukum. Ini tak hanya menandai pengakuan resmi atas jasa-jasa besar Sukarno, tetapi juga mengubur dalam-dalam spekulasi sejarah yang selama puluhan tahun membayangi nama baiknya.

Soeharto: Tap MPR Tentang KKN Tak Dicabut, Tapi Tidak Berlaku Lagi

Sementara itu, nama mantan Presiden Soeharto kembali mencuat dalam sidang tersebut. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang dikenal dengan nama Tap tentang KKN, karena secara eksplisit mencantumkan nama Soeharto terkait korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), juga menjadi bahan diskusi. Namun, perbedaan mencolok muncul dalam keputusan terkait Soeharto. Alih-alih mencabut Tap tersebut, MPR memilih untuk menyatakan bahwa nama Soeharto dalam ketetapan itu tidak berlaku lagi, mengingat sang penguasa Orde Baru telah wafat pada 27 Januari 2008.

Wakil Ketua MPR, Ahmad Muzani, memberikan penegasan bahwa keputusan ini bukanlah bentuk penghapusan sejarah, melainkan lebih pada aspek formal. "Nama Soeharto dinyatakan tidak berlaku lagi karena yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Tidak ada pencabutan Tap, tapi sekadar penegasan bahwa pasal terkait Soeharto dianggap selesai," jelas Muzani. Dengan ini, Soeharto tetap diakui dalam sejarah terkait perannya, baik sebagai pemimpin Orde Baru maupun terkait skandal KKN, namun dengan tanda akhir yang lebih simbolis dibanding substantif.

Gus Dur: Rehabilitasi Sejarah dan Pemulihan Nama Baik

Tidak kalah pentingnya, dalam sidang paripurna tersebut, nama besar Gus Dur—Presiden keempat Republik Indonesia—juga mendapatkan pemulihan nama baiknya. MPR sepakat untuk mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 yang mengakhiri kepresidenan Abdurrahman Wahid akibat ketidakpuasan terhadap pertanggungjawaban beliau sebagai Presiden.

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang dengan konsisten memperjuangkan nama baik Gus Dur, menyampaikan usulan administratif untuk secara resmi mencabut Tap tersebut. "Tap ini sudah tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan Tap MPR Nomor I/MPR/2003. Dengan demikian, pemulihan nama baik Gus Dur tidak hanya bersifat hukum, tapi juga simbolis, sebagai bentuk rekonsiliasi nasional," ujar Eem Marhamah Zulfa dari PKB dengan penuh penghormatan.

Dalam pidatonya, Eem menyampaikan bahwa rehabilitasi nama Gus Dur menjadi bagian dari warisan penting MPR periode ini. "Pemulihan nama baik Gus Dur adalah warisan besar yang tidak hanya berarti bagi keluarga besar Abdurrahman Wahid, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang menghargai kebesaran jiwa, toleransi, dan perjuangan Gus Dur demi kemanusiaan dan kebangsaan."

Sidang MPR: Membingkai Ulang Sejarah Bangsa

Keputusan-keputusan dalam sidang paripurna terakhir MPR ini menandai lebih dari sekadar formalitas politik. Ini adalah upaya membingkai ulang sejarah bangsa dengan lebih adil dan bijak. Di satu sisi, Sukarno dipulihkan dari tuduhan pengkhianatan yang tidak pernah terbukti, sementara Soeharto dibiarkan tetap dalam catatan sejarah, namun dengan akhir yang bersifat simbolis. Di sisi lain, Gus Dur, yang selama ini menjadi simbol pluralisme dan demokrasi, mendapatkan kehormatan kembali melalui pemulihan nama baiknya.

Langkah-langkah ini menggarisbawahi semangat rekonsiliasi nasional yang ingin diusung oleh MPR periode ini, membebaskan sejarah dari dendam politik masa lalu. Dengan keputusan ini, MPR menunjukkan komitmennya untuk tidak hanya menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga merangkul semua elemen bangsa dalam satu bingkai kebangsaan yang lebih inklusif dan penuh penghargaan terhadap jasa-jasa besar para pemimpin Indonesia.

(Mond)

#TAPSMPR #Konstitusi #Nasional