Penghargaan untuk Anggota DPR: Tanda Pengabdian atau Simbol Narsisme Kolektif?
D'On, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan publik setelah menyetujui Rancangan Peraturan DPR RI tentang Pemberian Penghargaan kepada Anggota DPR pada akhir masa keanggotaan. Persetujuan tersebut resmi disepakati dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2045, yang dilaksanakan pada Kamis, 19 September 2024.
Dengan antusiasme yang tinggi dari para anggota dewan yang hadir, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F. Paulus, selaku pimpinan rapat, bertanya, "Apakah Rancangan Peraturan DPR RI tentang Pemberian Penghargaan kepada Anggota DPR RI pada Akhir Masa Keanggotaan dapat disetujui untuk ditetapkan menjadi Peraturan DPR RI?" Tanpa banyak perdebatan, mayoritas anggota DPR yang hadir menjawab setuju.
Penghargaan untuk Pengabdian atau Formalitas Semata?
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi, menjelaskan bahwa peraturan ini disusun dengan tujuan untuk memberikan penghargaan kepada anggota DPR atas "kesetiaan dan pengabdian" mereka dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan bangsa. Penghargaan ini akan diberikan dalam bentuk piagam dan pin, yang nantinya disematkan secara simbolis kepada anggota yang mewakili fraksi masing-masing. Menariknya, penghargaan ini tidak hanya terbatas pada anggota dewan, tetapi juga akan diberikan kepada tenaga pendukung, seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) Sekretariat Jenderal DPR dan tenaga ahli fraksi.
Namun, di balik kilau simbolik penghargaan tersebut, muncul kritik tajam dari berbagai kalangan yang mempertanyakan urgensi dan relevansi dari kebijakan ini. Kritik datang dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, yang menyebut kebijakan ini sebagai bentuk narsisme kolektif. Menurut Lucius, penghargaan ini hanya menunjukkan betapa "gila hormatnya" para anggota DPR, yang seakan-akan perlu menciptakan peraturan untuk menghargai diri sendiri.
Lucius menyoroti bahwa penghargaan yang layak bagi seorang wakil rakyat adalah ketika mereka berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat melalui kerja nyata dan kontribusi yang dirasakan langsung oleh publik. "Penghargaan dari rakyat itu nyata dan tak bisa dimanipulasi. Itu adalah bentuk kepercayaan yang diberikan saat pemilu. Namun, ketika kinerja mereka justru banyak dikritik, maka penghargaan ini seakan hanya menjadi formalitas kosong," ujarnya.
Realita Kinerja DPR: Aspirasi Rakyat yang Terabaikan
Tak dapat dipungkiri, kritik terhadap kinerja DPR bukanlah hal yang baru. Masyarakat telah lama menyoroti bagaimana beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang krusial justru terabaikan oleh DPR, sementara agenda-agenda yang kurang prioritas malah melaju pesat di meja legislasi. Salah satu contoh nyata adalah RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang hingga kini masih terkatung-katung meskipun sudah banyak desakan dari masyarakat. Sebaliknya, RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara, yang dianggap kurang melibatkan aspirasi rakyat, justru diprioritaskan.
Lucius menyindir, "Bagaimana mungkin mereka mengharapkan penghargaan, padahal mereka tak menjalankan mandat yang diberikan rakyat dengan baik? RUU penting dibiarkan terbengkalai, tapi mereka berlomba-lomba mengesahkan peraturan yang tak ada relevansinya dengan masyarakat."
Sementara itu, Haykal, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), juga memberikan pandangan serupa. Menurutnya, pemberian penghargaan ini sama sekali tidak mencerminkan kinerja baik. "Penghargaan ini hanya seremonial formalitas belaka. Tanda bahwa mereka sudah menyelesaikan masa jabatan lima tahun, bukan tanda keberhasilan mereka dalam menjalankan amanat rakyat," tegas Haykal.
Ia menambahkan, masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana produk-produk legislasi yang dihasilkan selama lima tahun terakhir. Dari situ bisa dilihat apakah DPR benar-benar menyerap dan mewujudkan aspirasi rakyat, atau justru bekerja untuk kepentingan sendiri.
Narsisme Kolektif: DPR yang Merasa Superior
Musfi Romdoni, seorang analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), memperkuat pandangan tersebut dengan menyebut penghargaan ini sebagai bentuk "narsisme kolektif." Musfi menilai bahwa anggota DPR sering kali lupa akan asal-usul kursi yang mereka duduki, yaitu suara rakyat. Setelah terpilih, mereka kerap merasa lebih superior dibanding rakyat yang dulu mereka kejar-kejar untuk meminta dukungan.
"Ini menunjukkan bahwa DPR merasa memiliki jasa besar hanya karena mereka menjalankan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Padahal, sebagai wakil rakyat, pekerjaan mereka adalah tanggung jawab, bukan sesuatu yang layak untuk diberi penghargaan," kritiknya.
Penghargaan yang Memakan Anggaran
Kritik lain yang tak kalah penting adalah masalah anggaran. Menurut Haykal, pemberian penghargaan ini jelas tidak gratis dan pasti menghabiskan anggaran negara, yang tentunya berasal dari uang rakyat. Di tengah sorotan terhadap penggunaan anggaran negara yang sering tidak efektif, penghargaan ini dianggap sebagai pemborosan. "Ini jelas buang-buang uang rakyat. Dengan anggaran yang besar, mestinya DPR fokus pada kinerja dan hasil legislasi yang memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan pada seremoni yang tak berarti," ujarnya.
Secara keseluruhan, kritik terhadap Peraturan DPR tentang Pemberian Penghargaan ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap wakil mereka. Penghargaan yang diharapkan oleh rakyat bukanlah berupa piagam atau pin, melainkan kinerja nyata yang mampu menjawab kebutuhan publik. Jika DPR ingin benar-benar dihargai, mereka harus bekerja lebih keras untuk menyerap aspirasi rakyat dan menghasilkan legislasi yang benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan bersama.
(Mond/Tirto)
#DPR #Politik #Parlemen #Nasional