Breaking News

Raja Jawa Makin Ganas Usai Pindah ke Istana Baru

Foto: Makam Sunan Amangkurat I. (Dok. stekom.ac.id)

Dirgantaraonline -
Amangkurat I, raja penguasa Mataram yang berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677, adalah salah satu tokoh kontroversial dalam sejarah Jawa. Ia dikenal sebagai penguasa yang berusaha keras untuk mengkonsolidasikan kerajaan, menyatukan kekuatan di bawah satu kendali, dan memberantas segala bentuk perlawanan dengan cara yang brutal. Dalam proses itu, Amangkurat I meninggalkan jejak kekejaman yang membuatnya ditakuti dan dibenci, baik di kalangan istana maupun di seluruh pelosok kerajaan. 

Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat bahwa sejak awal masa pemerintahannya, Amangkurat I telah menunjukkan sikap bengis. Sifat otoriternya mulai tampak jelas hanya setahun setelah naik takhta. Salah satu peristiwa yang paling mencolok adalah pembunuhan terhadap Panglima Mataram, Wiraguna. Wiraguna diperintahkan untuk memimpin pasukan ke ujung timur Jawa guna mengusir pasukan Bali. Namun, sesampainya di sana, ia justru dibunuh bersama seluruh pasukannya atas perintah Amangkurat I. Tak hanya berhenti di situ, keluarga Wiraguna pun tak luput dari nasib tragis yang sama. 

Amangkurat I tidak segan-segan menghabisi siapa pun yang dianggap sebagai ancaman, baik dari dalam istana maupun dari luar. Pola ini membuat orang-orang di sekitarnya hidup dalam ketakutan yang luar biasa. Ricklefs menyebut bahwa kebengisan raja ini berhasil menundukkan banyak orang yang awalnya menentang, memaksa mereka untuk tunduk, meski dengan terpaksa dan dalam kondisi tertekan. 

Kebengisan Amangkurat I semakin menjadi-jadi setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya ke istana baru di Plered. Istana ini dibangun dengan megah, berdindingkan batu merah yang melambangkan kekokohan dan kepermanenan kekuasaannya. Amangkurat I berharap bahwa dengan membangun istana baru, ia dapat memperkuat posisinya dan mengintimidasi seluruh pelosok kerajaan.

Namun, kenyataannya justru berbalik. Di istana barunya, Amangkurat I malah semakin sering melakukan eksekusi terhadap mereka yang ia anggap sebagai ancaman. Kebiasaan ini justru membuat kekuasaannya goyah. Orang-orang di sekitarnya, termasuk para loyalis dan pemuka daerah, mulai merasakan ketidakpuasan yang mendalam. Seperti yang dicatat oleh Ricklefs, "Kezalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat orang-orang terkemuka di sekelilingnya." Para sekutu dan bawahan di daerah terpencil pun melihat ini sebagai peluang untuk melepaskan kesetiaan mereka terhadap Amangkurat I.

Ketegangan ini memuncak pada tahun 1677. Pada titik ini, para loyalis Amangkurat I mulai bergabung dengan kelompok pemberontak, menganggap raja mereka tidak lagi mampu memimpin dengan bijak, terutama karena usianya yang semakin menua. Sejarawan H.J. de Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram (1987) menulis bahwa bergabungnya para loyalis dan pembesar Jawa dengan kelompok pemberontak membuat pertahanan Mataram rapuh dari dalam. 

Pada Juli 1677, pasukan Madura di bawah pimpinan Raden Trunojoyo berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I, yang menyadari bahaya yang mengancam nyawanya, telah melarikan diri sebulan sebelum istana jatuh. Ia membawa serta keluarganya dan beberapa pengawal setia, menuju ke Imogiri, tempat pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Di sana, ia berusaha mengonsolidasikan kekuatan yang tersisa, tetapi kekuatannya sudah jauh berkurang dan tidak cukup untuk melawan pasukan pemberontak yang semakin besar.

Dari Imogiri, Amangkurat I kembali bergerak ke arah barat, kali ini dengan jumlah pengikut yang semakin sedikit. Perjalanannya berakhir tragis; ia meninggal di tengah pelarian, di antara Wanayasa dan Ajibarang. Sejarawan de Graaf mencatat bahwa kematiannya menjadi simbol akhir dari sebuah era pemerintahan yang penuh dengan kekerasan dan pembunuhan, yang akhirnya berbalik meruntuhkan kekuasaannya sendiri.

Amangkurat I meninggalkan warisan yang penuh paradoks: seorang raja yang berupaya keras untuk menyatukan kerajaan, namun dengan cara-cara yang menghancurkan kesetiaan dan persatuan di sekitarnya. Kebengisan dan kekejamannya mungkin memberinya kekuasaan yang besar untuk sementara waktu, tetapi akhirnya membawa kehancuran bagi dirinya dan kerajaan yang ia pimpin.

(Mond)

#AmangkuratI #Sejarah #RajaMataram