Ratusan Juta Rupiah Dibayar Demi Fasilitas Mewah di Rutan KPK
D'On, Jakarta – Dalam pengadilan yang digelar pada Senin, 23 September, sejumlah tahanan dan mantan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan kesaksian yang mengejutkan. Mereka mengungkapkan bahwa fasilitas mewah di dalam rumah tahanan (rutan) bukanlah sesuatu yang gratis, melainkan diperoleh melalui pembayaran yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Fasilitas tersebut mencakup handphone, kemudahan lainnya, hingga perlakuan istimewa dari petugas rutan.
Salah satu pengakuan yang paling menyita perhatian datang dari mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi. Terpidana kasus suap dan gratifikasi yang mencapai miliaran rupiah ini membeberkan fakta mengejutkan tentang bagaimana sistem pungli di rutan KPK telah menjadi praktik yang "wajib".
Nurhadi: Handphone Dibayar 25 Juta, Fasilitas Rutin 5 Juta per Bulan
Nurhadi mengaku bahwa selama berada di Rutan KPK, ia membayar sejumlah uang untuk mendapatkan fasilitas istimewa. Salah satunya adalah 'botol'—sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut handphone di lingkungan tahanan. Pada bulan pertama penahanannya, Nurhadi membayar sebesar Rp 25 juta untuk mendapatkan fasilitas ini. Selanjutnya, ia mengeluarkan biaya rutin sekitar Rp 5 juta per bulan untuk mempertahankan fasilitas tersebut.
“Botol itu istilah untuk handphone, saya bayar Rp 25 juta di bulan pertama. Selanjutnya rutin bayar Rp 5 juta setiap bulan,” ungkap Nurhadi saat persidangan berlangsung.
Namun, pungli tidak berhenti hanya di situ. Menurut Nurhadi, selain harus membayar untuk fasilitas handphone, ia juga dimintai uang pribadi oleh Hengky, sosok yang diduga menjadi otak di balik sistem pungutan liar di tiga Rutan KPK: Pomdam Jaya Guntur, Gedung C1, dan Gedung Merah Putih (K4). Hengky meminta uang kepada Nurhadi dengan dalih sedang membangun rumah dan membutuhkan biaya untuk melengkapinya.
“Dia bilang lagi bangun rumah, belum ada pagar, dapur, pintu. Jadi saya harus memberikan uang untuk itu,” ujar Nurhadi.
Tak hanya soal pungutan liar, Nurhadi juga menyampaikan bahwa para tahanan yang tidak membayar iuran rutin akan mengalami perlakuan diskriminatif. Mulai dari telatnya distribusi makanan, air keran yang dimatikan, hingga pengurangan jam olahraga, menjadi ancaman bagi mereka yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Emirsyah Satar: Bayar 13 Juta Demi Handphone
Sementara itu, Emirsyah Satar, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, juga memberikan kesaksiannya terkait sistem pungli di Rutan KPK. Emirsyah, yang dihukum atas kasus korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600, mengakui bahwa ia juga terlibat dalam pembayaran fasilitas di rutan.
Setelah beberapa kali ditawari dan bahkan merasa sedikit dipaksa, Emirsyah akhirnya membayar Rp 13 juta untuk mendapatkan handphone. “Awalnya saya sering pinjam ke teman, tapi akhirnya saya ambil juga handphone setelah ditawari berkali-kali,” ujarnya. Uang tersebut diberikan tunai kepada petugas rutan, dengan tujuan mendapatkan fasilitas yang memudahkan kehidupannya di tahanan.
Yoory C Pinontoan: Rp 130 Juta Demi Kenyamanan di Rutan
Kisah lain yang tak kalah mengejutkan datang dari Yoory C Pinontoan, mantan Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya. Yoory mengaku bahwa selama delapan bulan pertama di Rutan KPK, ia harus membayar iuran bulanan yang dimulai dari Rp 20 juta dan secara bertahap menurun menjadi Rp 5 juta per bulan.
Total uang yang telah dikeluarkan oleh Yoory untuk membayar pungli mencapai Rp 130 juta. “Saya bahkan harus menjual mobil untuk bisa membayar iuran ini,” ungkapnya. Dengan uang tersebut, Yoory mendapatkan akses ke fasilitas seperti handphone, yang di rutan dikenal dengan istilah 'mainan'.
Namun, hal yang menarik adalah peran Yoory di dalam rutan yang lambat laun berubah menjadi koordinator pengumpulan iuran dari para tahanan lainnya. Setiap bulannya, ia mengaku mampu mengumpulkan hingga Rp 70 juta dari tahanan lain, uang yang kemudian diberikan sepenuhnya kepada petugas rutan.
Tragedi di Balik Jeruji Besi
Kesaksian Yoory juga menyentuh aspek kemanusiaan yang memprihatinkan di dalam rutan KPK. Ia mengaku bahwa beberapa tahanan yang sakit tidak mendapatkan penanganan medis yang layak dan cepat, yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Ia menyebut dua nama: Hadinoto dan Maskur Husain, yang hampir meninggal dunia akibat lambatnya respons petugas rutan.
“Respons sangat lambat, sampai mereka buang air besar sambil berjalan, dan kami tahanan yang harus membersihkannya,” ucap Yoory penuh haru. Ia bahkan mengisahkan bahwa ia sempat terkena pukul saat mencoba melerai perkelahian antar tahanan.
“Saya hanya ingin menolong teman-teman saya yang sedang susah. Tapi pada akhirnya, tindakan saya malah menyusahkan diri sendiri,” tutupnya dengan nada getir.
Menguak Praktik Pungli di Rutan KPK
Pengakuan para tahanan ini membuka tabir gelap di balik dinding tebal Rutan KPK. Praktik pungli yang melibatkan petugas dan tahanan yang mampu membayar demi fasilitas mewah, serta diskriminasi terhadap mereka yang tak sanggup membayar, menambah lapisan ironi pada institusi yang seharusnya menjadi benteng anti-korupsi di Indonesia.
Pertanyaan besar kini menggantung: seberapa dalam akar praktik ini merasuki sistem, dan apakah keadilan yang sebenarnya bisa tegak di tempat yang seharusnya menjadi simbol ketegasan hukum?
(Mond)
#KPK #PungliRutanKPK #Peristiwa #Hukum