Sejarah Maulid Nabi: Perayaan Penuh Makna bagi Kaum Muslimin Dunia
Dirgantaraonline - Maulid Nabi, hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, merupakan salah satu peristiwa yang diperingati oleh kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tradisi ini sudah melekat dalam budaya Islam, dan berbagai negara, khususnya di Nusantara, merayakannya dengan beragam adat dan kebiasaan yang unik.
Secara linguistik, kata “Maulid” berasal dari bahasa Arab yang berarti "hari lahir," dan sering kali disebut juga dengan istilah “Milad.” Dalam konteks ini, Maulid Nabi merujuk pada peringatan kelahiran Nabi Muhammad, tokoh sentral dalam agama Islam. Momen bersejarah ini selalu jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah, dan pada tahun 2024, Maulid Nabi akan diperingati pada tanggal 16 September.
Maulid Nabi: Menghidupkan Kembali Keteladanan Nabi Muhammad
Bagi umat Muslim, peringatan Maulid Nabi bukan hanya sekadar ritual tahunan. Ini adalah momen reflektif untuk mengenang dan meresapi kebesaran serta keteladanan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Nabi Muhammad tidak hanya dikenal sebagai rasul terakhir, tetapi juga sebagai figur yang membawa perubahan besar bagi peradaban manusia, khususnya dalam ajaran moral, sosial, dan spiritual.
Peringatan ini kerap diisi dengan berbagai kegiatan yang bersifat ibadah, seperti pembacaan salawat, pengajian, hingga kegiatan sosial. Setiap kegiatan ditujukan untuk menghormati jasa besar Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam. Namun, di balik kemeriahan peringatan Maulid, ada diskusi teologis yang terus berlangsung di kalangan ulama mengenai status hukum perayaan ini. Sebagian ulama memandangnya sebagai bid'ah (inovasi dalam agama), sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk penghormatan yang sah.
Jejak Sejarah Maulid Nabi: Dari Abbasiyah hingga Wali Songo
Peringatan Maulid Nabi sejatinya memiliki akar sejarah yang panjang. Berdasarkan catatan sejarah, perayaan pertama kali diinisiasi pada masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya di Baghdad pada tahun 170 H/786 M. Khaizuran, ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan Harun al-Rasyid, dianggap sebagai tokoh yang pertama kali memerintahkan penduduk Madinah dan Makkah untuk mengadakan perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad di rumah-rumah.
Motivasi utama di balik perayaan ini adalah untuk menjaga agar teladan, ajaran, dan kepemimpinan Nabi Muhammad tetap hidup di hati umat Islam, khususnya di dua kota suci tersebut. Sejak saat itu, Maulid Nabi mulai menyebar ke berbagai belahan dunia Islam, disertai dengan berbagai tradisi lokal yang memperkaya makna perayaan ini.
Di Indonesia, sejarah peringatan Maulid Nabi tidak bisa dipisahkan dari peran Wali Songo, yang memperkenalkan perayaan ini sekitar tahun 1404 Masehi. Wali Songo menggunakan Maulid sebagai salah satu strategi dakwah untuk menarik hati masyarakat agar mau memeluk agama Islam. Peringatan Maulid di Nusantara saat itu dikenal dengan istilah "Syahadatain," yang merujuk pada dua kalimat syahadat, simbol penerimaan Islam sebagai agama baru di tengah masyarakat lokal.
Sekaten: Tradisi Maulid Khas Nusantara
Salah satu tradisi Maulid yang paling terkenal di Indonesia adalah Sekaten, sebuah perayaan yang rutin dilaksanakan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Kata “Sekaten” sendiri berasal dari “Syahadatain,” dua kalimat syahadat yang menjadi inti ajaran Islam. Perayaan Sekaten biasanya berlangsung dari tanggal 5 hingga 11 Rabiul Awal dalam kalender Hijriah, atau bulan Mulud dalam kalender Jawa.
Upacara Sekaten dimulai dengan prosesi megah, di mana abdi dalem keraton membawa dua gamelan Jawa bernama Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu menuju halaman masjid. Selama tujuh hari, gamelan ini akan dimainkan sebagai bagian dari rangkaian perayaan Sekaten. Pada hari terakhir, acara puncak perayaan berupa gerebeg gunungan Sekaten digelar. Gunungan, yang berupa tumpukan hasil bumi seperti padi, sayuran, dan buah-buahan, diarak dari keraton menuju masjid, kemudian diperebutkan oleh masyarakat sebagai simbol berkah.
Perayaan yang Terus Berlanjut
Di berbagai belahan dunia, Maulid Nabi diperingati dengan cara yang berbeda-beda, mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi masing-masing masyarakat Muslim. Ada yang merayakannya dengan pawai, festival, pembacaan syair-syair keagamaan, hingga pengajian dan ceramah yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad.
Terlepas dari berbagai perbedaan dalam bentuk perayaan dan pandangan hukum, Maulid Nabi tetap menjadi momen penting bagi umat Islam untuk merefleksikan warisan spiritual yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad. Kehadirannya dalam sejarah umat manusia telah membawa perubahan besar, dan melalui peringatan Maulid, umat Islam diajak untuk kembali menghayati nilai-nilai keislaman yang telah beliau contohkan.
Allahu a'lam.
(Rini)
#MaulidNabi #Islami #Religi