Breaking News

Terpidana dengan Hukuman di Bawah 5 Tahun Kini Bisa Menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden: Keputusan Kontroversial yang Diambil DPR dan Pemerintah

Rapat Baleg DPR RI bersama Menko Polhukam, Menpan RB, Menkumham, dan Menkeu

D'On, Jakarta -
Dalam keputusan yang memicu perdebatan, Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah telah menyetujui perubahan pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Perubahan ini memungkinkan individu yang pernah dihukum penjara kurang dari lima tahun untuk menjabat sebagai anggota Wantimpres.

Keputusan ini diambil dalam rapat Panitia Kerja (Panja) pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Wantimpres pada Selasa, 10 September. Awalnya, ketentuan yang berlaku melarang siapa pun yang pernah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan putusan hukum tetap untuk menjadi anggota Wantimpres, tanpa pengecualian terhadap lama hukuman.

Namun, dalam DIM nomor 32 yang membahas perubahan substansi, pemerintah mengusulkan agar pasal tersebut diubah menjadi: “Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” Dengan perubahan ini, seseorang yang dihukum penjara kurang dari lima tahun masih memiliki peluang untuk mengisi kursi di Wantimpres, sebuah posisi yang dianggap strategis dan penuh tanggung jawab dalam memberikan nasihat langsung kepada Presiden.

Proses Pembahasan yang Tertutup dan Keputusan yang Cepat

Ketika perubahan pasal ini diajukan, pimpinan Baleg DPR RI, Achmad Baidowi atau yang akrab disapa Awiek, menanyakan alasan di balik usulan pemerintah tersebut. Namun, situasi menjadi kontroversial ketika mikrofon para anggota dewan tiba-tiba mati selama proses tanya jawab berlangsung, sehingga publik tidak dapat mendengar secara jelas diskusi yang terjadi antara Awiek dan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas.

Siaran langsung rapat yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi DPR RI juga tidak mengeluarkan suara saat sesi krusial ini, sehingga banyak yang mempertanyakan transparansi dari proses pembahasan pasal tersebut. Ketika mikrofon kembali aktif, terdengar Awiek menanyakan apakah para anggota Baleg dan pemerintah setuju dengan perubahan bunyi pasal ini. Tanpa banyak diskusi yang terdengar oleh publik, mayoritas anggota rapat segera menyetujui perubahan tersebut.

“Apakah kita kembali ke UU lama, di mana hukuman pidana lima tahun atau lebih tidak diperbolehkan? Bagaimana fraksi, apakah setuju kembali ke undang-undang lama?" tanya Awiek, yang kemudian dijawab serempak dengan “Setuju” oleh para anggota rapat.U

Implikasi Perubahan: Dari Etika Hingga Kepercayaan Publik

Keputusan ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai arah kebijakan pemerintah dan DPR dalam hal kriteria moral dan etika bagi anggota Wantimpres. Posisi Wantimpres dianggap memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan, karena langsung memberikan masukan dan saran kepada Presiden dalam mengambil keputusan strategis. Dengan kelonggaran aturan ini, apakah kepercayaan publik terhadap integritas anggota Wantimpres akan tetap terjaga?

Banyak pihak menganggap bahwa perubahan ini bisa membuka jalan bagi orang-orang dengan rekam jejak kriminal ringan untuk menduduki posisi strategis di pemerintahan, sebuah langkah yang dikhawatirkan dapat menurunkan standar etika dan integritas dalam birokrasi. Di sisi lain, beberapa pihak berargumen bahwa hukuman dengan masa kurang dari lima tahun sering kali tidak mencerminkan tindak pidana berat, dan perubahan ini memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang telah menyelesaikan hukuman mereka.

Langkah ini akan terus menjadi sorotan publik dan menimbulkan perdebatan yang panjang, terutama mengenai sejauh mana standar moral diterapkan dalam penunjukan pejabat tinggi negara. Sementara itu, pemerintah dan DPR perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci dan transparan untuk menjawab berbagai kekhawatiran masyarakat mengenai keputusan ini.

Menanti Tindak Lanjut: Transparansi atau Ketertutupan?

Pertanyaan besar yang masih menggantung adalah: Apakah perubahan ini merupakan langkah maju dalam memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang telah menebus kesalahannya, atau justru menjadi celah yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu? Dengan suara-suara kritis yang terus bergema, masyarakat kini menunggu tindak lanjut dan klarifikasi dari pemerintah serta DPR terkait implikasi dari perubahan pasal ini.

Ke depan, keterbukaan informasi dan akuntabilitas dalam proses legislasi diharapkan menjadi prioritas, untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh wakil rakyat benar-benar mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat luas.

(Mond)

#Wantimpres #Nasional #Kontroversi #DPR