Tutut dan Titiek Soeharto Memohon Maaf Atas Kesalahan Ayahnya, Soeharto, Selama 32 Tahun Memimpin Indonesia
Soeharto
D'On, Jakarta – Momen yang penuh emosi dan introspeksi mewarnai acara silaturahmi kebangsaan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan keluarga besar Soeharto di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta. Dalam acara tersebut, dua putri mantan Presiden RI kedua, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto) dan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto), dengan hati terbuka menyampaikan permintaan maaf atas segala kekhilafan yang mungkin dilakukan ayah mereka selama 32 tahun masa pemerintahannya.
Acara ini diselenggarakan pada Sabtu (28/9), sehari setelah MPR mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998, yang memuat perintah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai tanggapan atas pencabutan tersebut, keluarga Soeharto menunjukkan sikap reflektif dan apresiatif. Diwakili oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), MPR menyampaikan surat balasan kepada keluarga Soeharto atas usulan Fraksi Golkar terkait revisi tersebut.
Tutut Soeharto: Kesadaran Atas Kekeliruan
Dalam suasana yang penuh penghormatan terhadap memori sang ayah, Tutut Soeharto menyampaikan pidato yang sarat makna. Ia mengakui bahwa tidak ada manusia yang sempurna, bahkan seorang pemimpin besar sekalipun. Dengan nada yang mencerminkan ketulusan, Tutut memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia jika ayahnya, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, pernah membuat keputusan yang keliru.
"Selama 32 tahun Bapak memimpin bangsa ini, tentu ada keputusan-keputusan yang tidak sempurna. Kami menyadari, sebagai manusia biasa, Bapak tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kami atas nama keluarga memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama memimpin, Bapak melakukan kesalahan," ungkapnya dengan penuh haru.
Lebih jauh, Tutut menyoroti pentingnya persatuan bangsa di atas segala kepahitan masa lalu. Ia mengajak masyarakat untuk bergerak maju, meninggalkan dendam sejarah yang mungkin masih ada di hati sebagian orang. "Yang benar tetaplah benar, dan yang salah harus diakui. Namun, persatuan bangsa ini jauh lebih penting daripada memendam dendam kesumat," tegasnya.
Titiek Soeharto: Jasa dan Pengakuan Terhadap Kolaborasi
Senada dengan Tutut, Titiek Soeharto menekankan bahwa pemerintahan ayahnya tidak hanya berdiri atas kakinya sendiri. Menurutnya, capaian yang diraih Soeharto adalah hasil kerja sama dengan para pejabat negara yang berada di bawah kepemimpinannya.
"Selama 32 tahun Bapak memimpin, tentu ada banyak hal baik yang beliau lakukan. Namun, itu semua bukan hasil kerja Bapak sendiri. Banyak pejabat dan tokoh bangsa yang bekerja sama demi membangun negara ini," ujar Titiek, menegaskan kontribusi kolektif di era Soeharto.
Tak lupa, Titiek juga meminta maaf atas segala kekhilafan yang mungkin terjadi selama masa kepemimpinan ayahnya. "Sebagaimana disampaikan Mbak Tutut, kami keluarga juga mohon maaf sebesar-besarnya jika ada kesalahan yang dilakukan Bapak. Namun, mari kita juga ingat bahwa banyak hal baik yang juga telah Bapak lakukan untuk bangsa ini," tambahnya.
Pencabutan Nama Soeharto dalam Tap MPR
Keputusan untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 diambil dalam rapat paripurna MPR pada Rabu (25/9). Keputusan ini lahir setelah Fraksi Golkar mengirim surat resmi pada 18 September 2024, meminta evaluasi atas penyebutan nama Soeharto dalam Tap MPR tersebut.
Pasal 4 dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 sebelumnya berbunyi: "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia."
Kini, dengan pencabutan nama Soeharto dari pasal tersebut, MPR menyatakan bahwa status hukum Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 masih tetap berlaku, meskipun secara spesifik, Soeharto sebagai individu telah dianggap selesai mengingat beliau telah meninggal dunia pada tahun 2008.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan berarti menghapuskan tanggung jawab pemberantasan KKN. "Meskipun nama Bapak Soeharto dicabut, Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 masih berlaku sebagai panduan dalam memerangi KKN di negara ini," jelasnya dalam sidang tersebut.
Mengakhiri Dendam, Membangun Masa Depan
Keluarga Soeharto, melalui permohonan maaf ini, tampak mengedepankan rekonsiliasi dan kebersamaan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Dengan pernyataan-pernyataan yang tulus dan sarat makna, Tutut dan Titiek mengajak bangsa ini untuk melupakan kepahitan masa lalu dan bersama-sama merajut persatuan. Meskipun tidak ada yang dapat menghapus sejarah, permintaan maaf ini merupakan langkah penting dalam memulai dialog yang lebih damai antara warisan Soeharto dan bangsa yang terus maju.
Sebagaimana dikatakan oleh Tutut, "Mari kita sudahi dendam, dan kita sambut masa depan dengan penuh harapan. Karena pada akhirnya, persatuan kita sebagai bangsa jauh lebih berarti daripada memendam amarah."
(Mond)
#Soeharto #nasional