Berdebat Dapat Mengeraskan Hati dan Melemahkan Amal: Pelajaran dari Ulama dan Al-Qur'an
Ilustrasi
Dirgantaraonline - Dalam tradisi Islam, berdebat bukanlah hal yang dilarang secara mutlak. Terdapat ulama besar seperti Imam Syafi’i yang dikenal cerdas dalam berdiskusi dan mampu mematahkan argumen lawan debatnya dengan sangat piawai. Dikatakan bahwa jika Imam Syafi’i ingin berargumen bahwa tiang besi terbuat dari kayu, niscaya ia akan memenangkan perdebatan itu. Namun, meskipun beliau memiliki kemampuan berdebat yang luar biasa, Imam Syafi’i memiliki prinsip yang sangat penting.
Beliau pernah berkata, “Aku tidak pernah berdebat untuk mencari kemenangan.” Ini menunjukkan bahwa dalam pandangannya, debat bukanlah sarana untuk mengalahkan orang lain atau menunjukkan keunggulan pribadi. Justru, yang ia kejar adalah kebenaran dan pemahaman yang mendalam.
Namun, ada satu hal yang sering kali beliau tekankan: tidak semua perdebatan layak untuk diladeni. Imam Syafi’i menegaskan, “Aku mampu berhujjah dengan sepuluh orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil. Karena orang yang jahil itu tidak pernah faham landasan ilmu.” Ini adalah peringatan yang mendalam, bahwa orang yang tidak berlandaskan ilmu hanya mengikuti hawa nafsu dan pendapat pribadinya, tanpa dasar yang kuat. Berdebat dengan mereka tidak hanya sia-sia, tetapi juga dapat menimbulkan keburukan.
Oleh karena itu, beliau menasehatkan agar jika ada orang bodoh mengajak kita berdebat, maka sebaiknya kita diam. “Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi. Apabila kamu melayani, maka kamu akan susah sendiri. Dan bila kamu berteman dengannya, maka ia akan selalu menyakiti hati.”
Keindahan nasihat Imam Syafi’i tercermin dalam berbagai pernyataannya yang penuh kebijaksanaan. Misalnya, ketika beliau berkata, “Sikap diam terhadap orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu pula diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.” Hal ini selaras dengan peribahasa yang menyebutkan bahwa singa dihormati karena diam, sedangkan anjing dijadikan bahan permainan karena ia suka menggonggong. Imam Syafi’i menggunakan analogi ini untuk menggambarkan betapa mulianya sikap diam di hadapan orang-orang yang tidak layak untuk dilayani dalam perdebatan.
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberikan peringatan serupa mengenai bahaya perdebatan. Beliau bersabda, “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud, Kitab al-Adab, Hadits no. 4167). Hadis ini mengajarkan bahwa meskipun kita berada di pihak yang benar, meninggalkan perdebatan adalah tindakan yang mulia dan dijanjikan pahala yang besar.
Lebih jauh lagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah mendapat petunjuk, melainkan karena mereka suka berjidal (berdebat).” Setelah itu, Rasulullah membaca ayat Al-Qur'an yang berbunyi, “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS Az-Zuhruf [43]: 58, HR. Tirmidzi no. 3253, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis ini dan ayat yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kutip mengingatkan kita bahwa perdebatan, terutama yang dilakukan tanpa tujuan mencari kebenaran, akan menjauhkan seseorang dari petunjuk. Perdebatan yang hanya ingin memenangkan argumen atau menunjukkan kehebatan diri justru mengeraskan hati dan menyesatkan dari jalan yang lurus.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Imam Malik rahimahullah, yang mengatakan bahwa “Berjidal (perdebatan) adalah menghilangkan cahaya ilmu, mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan.” (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf ‘Alal Khalaf: 35). Kata-kata ini menekankan bahwa debat yang dilakukan hanya untuk memuaskan ego bukan saja merusak ilmu, tetapi juga merusak hubungan sosial dan menyebabkan kebencian di antara manusia.
Kesimpulannya, perdebatan yang harus dihindari adalah perdebatan dengan orang-orang yang tidak berlandaskan ilmu dan yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur'an, “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS Shaad [38]: 26). Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa mengikuti hawa nafsu, termasuk dalam hal perdebatan, dapat menyesatkan seseorang dari petunjuk Allah.
Allah juga berfirman, “Katakanlah: ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah pula aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An'am [6]: 56). Ayat ini menegaskan bahwa mengikuti nafsu dalam hal apapun, termasuk dalam debat, adalah jalan menuju kesesatan.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjaga hati dari sifat suka berdebat, terutama jika perdebatan tersebut tidak membawa manfaat dan hanya menimbulkan kebencian. Lebih baik menjaga kehormatan dan menumbuhkan sifat sabar dan lemah lembut, karena dalam kelembutan itulah terletak keindahan akhlak seorang mukmin.
Seperti kata Imam Syafi’i, “Orang pandir mencercaku dengan kata-kata jelek, maka aku tidak ingin untuk menjawabnya. Dia bertambah pandir dan aku bertambah lembut, seperti kayu wangi yang dibakar malah menambah wangi.” Sikap sabar dan lembut inilah yang akan membawa kita kepada kedamaian dan kelapangan hati, jauh dari kekerasan dan kesesatan akibat perdebatan yang tidak berguna.
(Rini)
#Perdebatan #Islami #Religi