Breaking News

Dampak Hukuman Fisik pada Anak: Memahami Risiko dan Alternatifnya

Ilustrasi 

Dirgantaraonline -
Hukuman fisik, seperti memukul atau menghukum dengan kekerasan, masih sering digunakan oleh sebagian orangtua dengan harapan dapat memperbaiki perilaku anak. Meskipun metode ini terkadang dipandang efektif dalam jangka pendek, kenyataannya, hukuman fisik lebih banyak membawa dampak negatif, baik secara psikologis maupun emosional. Berbagai riset telah menunjukkan bahwa hukuman fisik jarang berhasil mengubah perilaku anak dalam jangka panjang. Bahkan, bisa menimbulkan efek sebaliknya: anak tetap mengulangi perilaku yang sama, atau justru menimbulkan masalah baru, seperti agresivitas atau rendahnya rasa percaya diri.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi, atau yang akrab disapa Romi, menjelaskan bahwa penggunaan hukuman fisik sering kali tidak efektif karena anak belum memahami secara mendalam alasan di balik aturan yang dilanggarnya. Menurut Romi, banyak anak yang melanggar aturan bukan karena mereka sengaja, tetapi karena kurangnya pemahaman atau karena mereka ingin mencari perhatian. Ada juga kondisi di mana anak merasa terpaksa melanggar aturan karena situasi yang memaksa.

Mengapa Hukuman Fisik Gagal Mengubah Perilaku?

Romi menekankan bahwa hukuman fisik tidak boleh dijadikan alat utama dalam mendisiplinkan anak. Proses pembentukan perilaku seharusnya melibatkan pendekatan yang lebih komprehensif, yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendekatan ini sering disebut dengan shaping, yaitu proses pembentukan perilaku melalui tahapan-tahapan pemahaman dan penyesuaian.

Dalam shaping, anak pertama-tama perlu diberikan pemahaman secara kognitif—mengapa perilaku tertentu dianggap salah dan apa konsekuensi dari melanggar aturan tersebut. Pemahaman ini harus diikuti dengan pendekatan afektif, di mana anak memahami dampak emosional dari tindakan mereka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Barulah pada tahap psikomotorik, anak mulai menginternalisasi perubahan perilaku, sehingga mereka mampu mengontrol tindakan secara sadar dan bertanggung jawab.

“Bisa dengan cara macam-macam,” kata Romi. “Memberikan informasi pemahaman dulu, kognitif, afektif, baru psikomotor supaya dalam proses perilaku dia paham kalau ini untuk kebaikannya.”

Langkah yang Bisa Diambil Orangtua Ketika Anak Melanggar Aturan

Alih-alih langsung memberikan hukuman fisik, Romi menyarankan orangtua untuk terlebih dahulu melakukan pendekatan komunikasi. Komunikasi kognitif berperan dalam memberikan penjelasan tentang aturan dan konsekuensi yang berlaku, sementara komunikasi afektif memungkinkan anak untuk memahami perasaan mereka sendiri maupun orang lain. Setelah memahami kedua aspek ini, anak diharapkan bisa melakukan penyesuaian perilaku secara bertahap dan menghentikan tindakan yang dianggap salah.

Orangtua juga perlu memahami bahwa anak membutuhkan kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Memberikan hukuman tidak selalu merupakan pilihan terbaik, terutama jika hukuman tersebut dilakukan tanpa memberikan penjelasan yang memadai.

“Hukuman sebaiknya diambil sebagai langkah terakhir,” kata Romi. “Kalau masih bisa diajak bicara, berikan informasi kepada anak kenapa dia melakukan pelanggaran itu. Nasihat dengan volume suara yang tidak terlalu tinggi, agar anak tidak merasa takut kepada orangtua.”

Konsekuensi Jangka Panjang dari Hukuman Fisik

Menghukum anak secara fisik tidak hanya berdampak pada perilaku anak dalam jangka pendek, tetapi juga bisa memengaruhi perkembangan psikologisnya dalam jangka panjang. Anak yang sering mendapatkan hukuman fisik berisiko menjadi lebih agresif, terutama ketika mereka berinteraksi di luar rumah. Anak cenderung meniru apa yang mereka lihat dan alami, sehingga jika mereka dipukul sebagai hukuman, mereka mungkin menganggap bahwa kekerasan adalah solusi yang sah untuk mengatasi konflik atau masalah.

Lebih dari itu, anak yang sering dihukum secara fisik juga cenderung mengalami tekanan emosional yang berlebihan. Hal ini dapat mengarah pada rendahnya rasa percaya diri (self-esteem), perasaan tidak berharga, dan bahkan trauma. Anak yang dipermalukan atau direndahkan melalui hukuman fisik atau verbal bisa mengalami gangguan dalam pengembangan identitas mereka, yang pada akhirnya dapat memengaruhi hubungan mereka dengan orang lain, baik dalam keluarga maupun di lingkungan sosial.

Hukuman Tidak Selalu Dibutuhkan: Alternatif yang Lebih Baik

Hukuman fisik sebaiknya dihindari, mengingat berbagai dampak negatifnya yang sudah terbukti secara ilmiah. Namun, bukan berarti setiap pelanggaran harus dihadapi dengan hukuman. Sebaliknya, orangtua bisa mengadopsi metode disiplin yang lebih positif dan mendidik, seperti memberikan contoh yang baik, mempraktikkan komunikasi terbuka, dan memberi pujian untuk perilaku yang baik.

Penting juga diingat bahwa terlalu sering memberikan hadiah atau imbalan sebagai bentuk penghargaan juga tidak selalu baik. Jika anak terbiasa mendapatkan hadiah setiap kali mereka menuruti keinginan orangtua, hal ini dapat menimbulkan pola pikir transaksional. Anak mungkin mulai merasa bahwa mereka hanya perlu berperilaku baik jika ada imbalan yang menanti, dan bukan karena itu merupakan hal yang benar.

Sebagai penutup, Prof. Romi menggarisbawahi bahwa membimbing anak memerlukan kesabaran dan pendekatan yang penuh kasih. Hukuman fisik hanya akan merusak ikatan antara orangtua dan anak serta menghambat perkembangan emosional dan psikologis anak. Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik dan menunjukkan sikap empati, orangtua bisa membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan penuh pengertian tanpa perlu menggunakan kekerasan atau hukuman fisik.

(Rini)

#Parenting #Gayahidup #Lifestyle