Judicial Review PP 25/2024: Konsesi Tambang Bagi Ormas Keagamaan Digugat ke Mahkamah Agung
D'On, Jakarta – Sebuah langkah hukum besar tengah diambil oleh koalisi masyarakat sipil, yang terdiri dari berbagai tokoh, advokat, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka secara resmi mengajukan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 (PP 25/2024), yang memberikan prioritas izin tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Langkah ini menandai perlawanan keras terhadap kebijakan yang dinilai berpotensi merusak lingkungan dan membuka celah korupsi politik.
Wahyu Agung Perdana, Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyatakan bahwa gugatan ini bukan sekadar persoalan hukum biasa, tetapi merupakan bagian dari Jihad Konstitusi. Menurut Wahyu, sebagai warga negara dan anggota Persyarikatan Muhammadiyah, ia merasa berkewajiban untuk menentang kebijakan yang merusak lingkungan dan tatanan sosial.
"Pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan, khususnya di sektor batu bara, adalah langkah yang sangat berbahaya. Selain mengancam ekosistem dan merusak keseimbangan sosial, hal ini berpotensi menjadi ‘risywah politik’ atau suap yang berkedok kebijakan,” tegas Wahyu dalam sebuah pernyataan tertulis pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Ia menambahkan bahwa Teologi al-Ma’un Hijau Muhammadiyah, yang berlandaskan pada prinsip menjaga kelestarian lingkungan, menolak segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Prinsip ini mengacu pada Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Masalih, yang berarti mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengejar keuntungan ekonomi. Wahyu mendesak agar Mahkamah Agung mengabulkan judicial review tersebut secara penuh dan memerintahkan agar ormas keagamaan tidak terlibat dalam bisnis pertambangan yang dinilai bertentangan dengan misi mereka.
"Organisasi keagamaan harus kembali pada fungsi utamanya, yaitu membina umat dan memberikan perlindungan, bukan menjadi pelaku bisnis yang mengabaikan kerusakan lingkungan,” ujar Wahyu dengan nada tegas.
Gugatan untuk Selamatkan Ormas dari Jebakan Energi Kotor
M. Raziv Barokah, kuasa hukum dari pemohon judicial review, menambahkan bahwa upaya ini juga bertujuan menyelamatkan ormas keagamaan dari jebakan bisnis pertambangan energi kotor. Ia mengingatkan bahwa bila ormas dibiarkan terlibat dalam aktivitas pertambangan, hal ini akan menciptakan preseden buruk bagi masa depan.
“Kita harus menyelamatkan ormas keagamaan dari keterlibatan dalam bisnis tambang. Jika dibiarkan, lahan tambang akan menjadi alat politik untuk membungkam suara-suara kritis. Hal ini tidak hanya merugikan secara moral, tetapi juga secara politik,” ujar Raziv dengan penuh peringatan.
Raziv menyoroti bahwa izin konsesi tambang yang diberikan kepada ormas keagamaan ini jelas-jelas mengabaikan potensi kerusakan lingkungan yang besar, dan juga mengandung risiko tinggi konflik sosial. Konflik horizontal antara ormas keagamaan dengan masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut bisa dengan mudah tersulut.
“Izin tambang ini sangat tidak tepat bila diberikan kepada ormas keagamaan. Ormas dibentuk untuk tujuan sosial, bukan untuk mencari keuntungan bisnis. Ketika ormas keagamaan terlibat dalam tambang, hal ini merusak fondasi mereka sendiri,” lanjut Raziv.
Menurut Tim Advokasi Tolak Tambang, PP 25/2024 tidak hanya cacat secara hukum, tetapi juga berpotensi menjadi arena suap politik. Mereka mengklaim bahwa pemberian izin tambang tanpa proses lelang yang terbuka, seperti yang tercantum dalam PP ini, melanggar Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dengan adanya pelanggaran hukum ini, Tim Advokasi berharap Mahkamah Agung tidak hanya mengabulkan judicial review, tetapi juga memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terlibat.
Simpul Akhir: Kembali ke Khittah
Pada akhirnya, perjuangan ini bukan semata-mata soal penegakan hukum. Bagi Wahyu dan Raziv, ini adalah panggilan untuk mengembalikan ormas keagamaan pada khittah—tujuan awal didirikannya ormas, yaitu untuk kepentingan sosial dan keagamaan, bukan bisnis tambang yang merusak.
“Ini bukan hanya soal hukum, ini soal moral dan lingkungan. Ormas keagamaan seharusnya menjadi pilar yang melindungi masyarakat dan lingkungan, bukan justru menjadi perusaknya,” tutup Raziv.
Keputusan akhir dari Mahkamah Agung kini menjadi penentu, apakah suara masyarakat sipil yang berupaya menjaga kelestarian alam dan moralitas akan didengar, atau apakah kepentingan ekonomi jangka pendek akan tetap menguasai panggung kebijakan di Indonesia.
(Mond)
#MahkamahAgung #IzinTambang #OrmasKeagamaan