Kisah Kelam Pengadilan: Bobroknya Integritas Hakim di Tengah Arus Suap
D'On, Jakarta - Di balik cita-cita besar keadilan, tersembunyi potret suram lembaga peradilan di Indonesia. Sebuah pepatah Latin yang sudah berusia ribuan tahun berbunyi Fiat justitia ruat caelum—keadilan harus ditegakkan, walau langit runtuh. Namun, bagi sebagian hakim di negeri ini, semboyan tersebut mungkin tak lagi bergema. Di Indonesia, langit keadilan tak runtuh begitu saja, melainkan bisa dibengkokkan dan dijual demi segepok uang haram. Inilah wajah bopeng dari sistem hukum yang terus-menerus ternodai oleh kasus korupsi.
Tiga Hakim Surabaya Tertangkap Basah
Kasus terbaru yang mencoreng wajah peradilan terjadi pada Rabu, 23 Oktober 2024, saat Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Anindyo. Ketiganya diduga terlibat dalam skandal suap terkait vonis bebas yang mereka jatuhkan kepada Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti. Ronald, yang notabene adalah putra politisi Edward Tannur, dibebaskan oleh ketiga hakim pada Juli 2024. Keputusan ini sempat mengejutkan publik karena banyak bukti yang dianggap kuat dalam kasus tersebut tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Rasa skeptis publik pun akhirnya terbukti. Ketiga hakim yang membebaskan Ronald kini berstatus sebagai tersangka korupsi. Tak hanya mereka, pengacara Ronald, Lisa Rahmat, juga ikut dicokok oleh Kejaksaan Agung. Saat ini, investigasi lebih lanjut sedang dilakukan untuk mengungkap sumber uang suap dan bagaimana proses transaksi tersebut terjadi. Dari penggeledahan di beberapa lokasi, Kejaksaan Agung menyita uang dengan total mencapai miliaran rupiah.
Kekecewaan Mahkamah Agung dan Anulir Vonis Bebas
Penangkapan tiga hakim Surabaya ini memicu reaksi keras dari Mahkamah Agung (MA). Dalam sebuah konferensi pers yang digelar pada Kamis, 24 Oktober 2024, juru bicara MA, Yanto, menyatakan bahwa tindakan ketiga hakim tersebut telah mencoreng perjuangan para hakim lain yang tengah berusaha menuntut kesejahteraan. Lebih jauh lagi, jika mereka terbukti bersalah, MA akan memberhentikan ketiganya secara tidak hormat.
Selain itu, Mahkamah Agung juga mengambil langkah hukum terhadap kasus Ronald Tannur dengan mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. MA membatalkan vonis bebas PN Surabaya dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Ronald. Keputusan ini memberikan sinyal bahwa MA tidak akan mentoleransi keputusan yang mencurigakan, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan dugaan suap.
Korupsi di Lembaga Peradilan: Fenomena Sistemik
Kasus suap yang melibatkan tiga hakim ini hanya satu dari banyak kasus korupsi yang telah menodai lembaga peradilan Indonesia. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyebut bahwa kasus ini adalah contoh nyata betapa rapuhnya integritas di kalangan hakim. Zaenur menegaskan bahwa hampir setiap tahap dalam proses peradilan dapat ‘dibeli’ jika ada uang yang cukup. Dari pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan, semuanya bisa ‘diatur’.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia pada 2023 menggambarkan situasi ini dengan gamblang. Skor Indonesia stagnan di angka 34, dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Salah satu penyebab utama dari rendahnya skor tersebut adalah buruknya penegakan hukum, yang dipicu oleh merajalelanya mafia peradilan. Korupsi di tubuh peradilan menciptakan ketidakpastian hukum yang merusak kepercayaan masyarakat dan menjadi penghalang bagi iklim investasi yang sehat.
Masalah yang Membudaya: Dari Orde Baru Hingga Kini
Seperti yang diungkapkan Zaenur, praktik jual-beli perkara ini sudah berlangsung sejak zaman Orde Baru dan tampaknya sudah menjadi budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kasus-kasus suap di Mahkamah Agung bukanlah hal baru. Hakim agung seperti Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati menjadi contoh betapa korupsi telah menjalar hingga ke puncak institusi hukum tertinggi. Bahkan, para pegawai dan staf pengadilan ikut terseret dalam lingkaran rasuah ini.
Ketiadaan mekanisme pengawasan yang kuat juga memperburuk situasi. Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial belum mampu menjalankan tugas mereka dengan optimal. Putusan-putusan yang janggal dan sikap tidak imparsial hakim seharusnya bisa menjadi petunjuk awal adanya korupsi. Namun, selama ini celah-celah tersebut tak dimanfaatkan dengan baik oleh pihak yang berwenang.
Memperbaiki Integritas Peradilan
Tantangan terbesar yang dihadapi sistem hukum Indonesia saat ini adalah bagaimana memperbaiki integritas lembaga peradilan. Diky Anandya dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menggarisbawahi pentingnya pembenahan internal dan pengawasan yang lebih ketat terhadap hakim. Tanpa pengawasan yang efektif, pintu suap akan terus terbuka lebar, memperkuat mafia peradilan yang sudah menjamur di berbagai tingkatan.
Lebih jauh lagi, Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menyatakan bahwa kasus ini adalah peringatan keras bagi seluruh hakim di Indonesia. SHI mendukung upaya bersih-bersih yang dilakukan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, sambil berharap bahwa kesejahteraan hakim yang lebih baik akan diiringi dengan peningkatan akuntabilitas.
Menuju Keadilan yang Sejati
Kasus ini bukan hanya sebuah skandal hukum, tetapi juga ujian bagi seluruh bangsa. Dalam sistem yang seharusnya menjadi tumpuan keadilan, kita melihat dengan jelas bahwa korupsi masih menjadi penyakit kronis yang belum ada obatnya. Jika reformasi serius tidak dilakukan, kepercayaan publik terhadap peradilan akan terus terkikis.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah memperketat pengawasan dan memberikan hukuman yang lebih berat bagi para pelanggar. Dengan demikian, para hakim dan pejabat peradilan dapat kembali menjalankan tugas mereka dengan integritas, menjadikan pengadilan tempat yang benar-benar bisa diandalkan untuk mencari keadilan, bukan untuk memperdagangkannya.
(Tirto)
#Suap #Korupsi #SuapKasusRonaldTannur