Maksiat, Rezeki Lancar: Hati-hati dengan Istidraj!
Istidraj
Dirgantaraonline - Ada fenomena yang sering kali membingungkan kita: bagaimana mungkin seseorang yang rajin bermaksiat bisa memiliki rezeki yang lancar? Bisnisnya sukses, hartanya melimpah, tetapi ia pelit dan hidup dalam kemaksiatan. Apakah ini pertanda bahwa Allah menyayanginya? Ternyata, jawabannya jauh lebih mendalam dan mengkhawatirkan.
Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang hal ini melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin Amir:
"Apabila engkau melihat Allah memberikan dunia (kekayaan) kepada seorang hamba sesuai dengan apa yang ia inginkan, sementara ia tetap berbuat maksiat, ketahuilah bahwa itu adalah istidraj (jebakan) dari Allah."
Apa Itu Istidraj?
Istidraj adalah keadaan di mana Allah menjerumuskan seseorang ke dalam kehancuran secara perlahan dengan memberi mereka kenikmatan dunia, sementara mereka terus menerus tenggelam dalam dosa. Allah mengingatkan kita tentang fenomena ini dalam firman-Nya:
"Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membuka semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (QS. Al-An'am: 44)
Fenomena istidraj terjadi ketika seseorang terus menikmati segala bentuk kenikmatan duniawi—kekayaan, kesuksesan, kekuasaan—namun di sisi lain mereka semakin menjauh dari Allah. Bukan karena Allah ridha terhadap perilaku mereka, melainkan karena Allah sedang menyiapkan mereka untuk menerima hukuman-Nya yang sangat berat. Mereka disilaukan oleh gemerlap dunia, hingga lupa akan tanggung jawab dan dosa yang terus menumpuk.
Tanda-tanda Istidraj: Nikmat yang Melenakan
Ibnu Abbas pernah menjelaskan makna dari ayat di atas, “Kami akan menarik mereka berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang tidak mereka ketahui.” Beliau berkata, “Setiap kali mereka melakukan dosa, Allah menambah nikmat-Nya dan melupakan mereka dari meminta ampun.” Ini adalah salah satu bentuk istidraj yang paling mengerikan: seseorang diberi nikmat dunia, tapi ia dilupakan dari mengingat Allah dan beristighfar.
Dalam penjelasan lain, Sufyan ats-Tsauri menafsirkan ayat yang serupa, “Kami akan menarik mereka berangsur-angsur ke arah kebinasaan.” Beliau mengatakan bahwa Allah memberi mereka banyak nikmat, tapi menahan mereka dari bersyukur. Inilah cara Allah menjerat mereka dengan istidraj: mereka tenggelam dalam kenikmatan yang justru menutup hati mereka dari kebaikan.
Rezeki Lancar Bukan Tanda Kebaikan
Banyak orang beranggapan bahwa kelancaran rezeki dan keberhasilan dalam urusan dunia adalah tanda kasih sayang Allah. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam beberapa kasus, kelapangan hidup bisa jadi adalah bentuk azab yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. Untuk apa memiliki banyak harta, tetapi hati terasa kosong dan gelisah? Untuk apa segala kesenangan dunia, jika pada akhirnya hanya membawa penderitaan di akhirat?
Seandainya standar kasih sayang Allah diukur dari banyaknya harta, maka Qarunlah yang seharusnya menjadi orang paling dicintai Allah. Namun, kita tahu bagaimana kisah Qarun berakhir: ditelan bumi bersama seluruh hartanya sebagai hukuman atas kesombongannya.
Sebaliknya, jangan pula kita menganggap bahwa ujian hidup dan cobaan adalah tanda kemurkaan Allah. Boleh jadi, kesulitan yang kita alami adalah bentuk rahmat Allah untuk menghapuskan dosa-dosa kita dan meninggikan derajat kita di surga kelak. Ujian yang berat sering kali menjadi sarana untuk membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah, sementara kenikmatan dunia bisa menjadi penghalang yang justru menjauhkan kita dari-Nya.
Istidraj Juga Berlaku Bagi Penuntut Ilmu
Istidraj tidak hanya berlaku bagi orang yang sibuk dengan urusan duniawi. Bahkan penuntut ilmu agama bisa terjebak dalam jebakan ini. Janganlah kita mengira bahwa nilai yang bagus dan kesuksesan akademis adalah tanda pasti bahwa Allah ridha kepada kita. Sebaliknya, lihatlah bagaimana shalat kita, bagaimana ibadah puasa kita, bagaimana kita tunduk pada aturan Allah, dan sejauh mana kita mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari.
Seorang penuntut ilmu yang sukses di dunia akademis, tetapi lalai dalam ibadahnya, boleh jadi sedang berada dalam istidraj. Allah mengaruniakan ilmu dan kesuksesan kepada mereka, tetapi hati mereka semakin jauh dari-Nya. Ini adalah bentuk lain dari istidraj yang sering tidak kita sadari.
Hati-hati dengan Posisi Kita
Lalu, di manakah posisi kita saat ini? Apakah kita termasuk orang yang mendapatkan nikmat dunia sebagai bentuk kasih sayang Allah, atau justru kita sedang berada dalam jebakan istidraj? Standar kasih sayang Allah bukanlah seberapa banyak harta atau seberapa besar kesuksesan yang kita raih. Standar yang sebenarnya adalah sejauh mana kita mampu taat kepada-Nya, atau sejauh mana kita tenggelam dalam kemaksiatan.
Maka dari itu, marilah kita berhati-hati. Jangan tertipu oleh gemerlap dunia yang tampak indah, namun bisa jadi hanya menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan yang tidak kita sadari. Kenikmatan dunia bisa saja menjadi alat bagi Allah untuk menguji kita—apakah kita akan tetap bersyukur dan taat, atau malah semakin lalai dan tenggelam dalam dosa.
Mari kita terus introspeksi diri, memohon ampunan Allah, dan berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di jalan yang diridhai-Nya. Jangan biarkan nikmat dunia menghalangi kita dari mengingat Allah dan memperbaiki diri, karena pada akhirnya, yang paling penting bukanlah seberapa banyak yang kita miliki di dunia, tetapi seberapa dekat kita dengan Allah di akhirat.
(Rini)
#Istidraj #Islami #Religi