Prabowo Ultimatum Parpol: Jangan Tunjuk Menteri yang Curi APBN
D'On, Jakarta - Prabowo Subianto, presiden terpilih Indonesia, secara tegas mengeluarkan ultimatum yang jarang terdengar dari seorang pemimpin baru. Dalam sebuah pidato yang disampaikannya di Rapat Koordinasi Nasional Legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 10 Oktober 2024, di Hotel Grand Sahid Jakarta, Prabowo menyampaikan syarat keras kepada partai-partai pendukungnya. Ia menuntut agar tidak ada satu pun partai yang mengajukan calon menteri yang berencana memanfaatkan posisi mereka untuk mencuri uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Seruan ini ia sampaikan sebagai langkah awal untuk memastikan kabinet yang dipimpinnya bersih dari praktik korupsi.
"Terang-terangan saya katakan kepada semua ketua umum, jangan menugaskan menteri-menteri yang ditunjuk untuk mencuri uang dari APBN. Saya tidak mau kabinet saya terlibat dalam skandal yang memalukan negeri ini," ujar Prabowo dengan suara lantang.
Ultimatum ini menyoroti persoalan mendasar yang selama ini menyelimuti politik Indonesia, yakni partai politik seringkali menggunakan kekuasaan mereka untuk mencari pendanaan ilegal melalui anggota mereka yang duduk di pemerintahan. Prabowo menyadari bahwa setiap partai politik membutuhkan dana untuk menjalankan operasional dan bersaing dalam pemilihan umum. Namun, ia menyerukan agar mereka mencari sumber pendapatan yang halal dan transparan.
"Ayo kita kelola kekayaan kita dengan baik, secara terang-terangan, untuk mendukung institusi kita tanpa melanggar hukum," tambahnya.
Respons Para Pengamat: Apakah Ini Momentum Reformasi?
Pernyataan Prabowo segera disambut berbagai pandangan dari pengamat politik dan pegiat antikorupsi. Bagi sebagian pihak, ini adalah sinyal positif bahwa pemerintah mendatang mungkin benar-benar serius dalam memberantas korupsi, khususnya di lingkup partai politik.
Zaenur Rohman, peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), memandang pernyataan Prabowo sebagai langkah awal yang baik. Menurutnya, selama ini, praktik korupsi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pejabat berlatar belakang partai politik yang mengerahkan jabatannya untuk kepentingan partai. "Sudah banyak kasus yang menunjukkan bagaimana uang haram dari korupsi mengalir ke partai-partai politik," ungkap Zaenur.
Ia mencontohkan skandal korupsi Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang terbukti melakukan pencucian uang dan korupsi terkait proyek Hambalang dan proyek-proyek lainnya yang didanai oleh APBN. Kasus ini, kata Zaenur, hanya satu dari sekian banyak kasus yang menunjukkan bagaimana pejabat publik menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya partai mereka.
Selain itu, kasus dua menteri di era Jokowi, Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian) dan Johnny Gerard Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), yang terjerat korupsi, semakin memperkuat argumen bahwa partai politik sering memanfaatkan posisi pejabatnya untuk mengisi pundi-pundi partai.
Zaenur berpendapat bahwa Prabowo harus memperkuat ucapannya dengan langkah konkret, salah satunya adalah menandatangani fakta integritas dengan setiap partai politik di kabinet. Ini akan menjadi bentuk komitmen bahwa menteri yang diusulkan benar-benar bersih dan tidak memiliki niat untuk melakukan korupsi. Lebih jauh lagi, Prabowo juga diharapkan bisa memperbaiki sistem pendanaan partai politik agar mereka tidak bergantung pada sumber yang tidak sah, seperti korupsi.
"Peningkatan bantuan negara kepada partai politik bisa menjadi solusi, tetapi dengan prasyarat yang ketat. Partai harus melakukan reformasi integritas, menegakkan kode etik, dan memperbaiki sistem kaderisasi," kata Zaenur.
Tantangan Kabinet Gemuk dan Potensi Korupsi
Kunto Adi Wibowo, analis politik dari Universitas Padjadjaran, melihat pernyataan Prabowo ini sebagai langkah berani yang membuka "rahasia umum" di depan publik. Ia mengakui bahwa posisi menteri memang sangat menguntungkan secara finansial, dan partai politik cenderung berebut untuk menempatkan kader mereka di kursi tersebut. Alasannya sederhana: keuntungan finansial yang didapat dari jabatan menteri sering digunakan untuk mendanai kegiatan politik partai, termasuk persiapan pemilu berikutnya.
"Ini lingkaran setan antara money politics dan korupsi yang terus berlanjut dari atas ke bawah. Untuk menghentikannya, dibutuhkan pemimpin yang benar-benar berani melawan sistem ini," ujar Kunto.
Namun, Kunto juga mengingatkan bahwa kabinet gemuk yang direncanakan Prabowo bisa menjadi pedang bermata dua. Dengan semakin banyak menteri di kabinet, beban APBN akan semakin berat, dan risiko korupsi juga semakin tinggi. Maka, diperlukan tindakan tegas dari Prabowo untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang di kabinetnya.
Kunto juga menyarankan agar Prabowo melakukan evaluasi terhadap nama-nama calon menteri yang telah diajukan oleh ketua umum partai politik. Jika ada calon yang memiliki rekam jejak buruk, Prabowo harus berani menolak mereka. Ini adalah langkah penting untuk menunjukkan bahwa Prabowo serius dalam membangun kabinet yang bersih dan profesional.
Ujian Komitmen Prabowo: Bukti atau Sekadar Retorika?
Meskipun banyak yang memuji langkah Prabowo, tidak sedikit yang skeptis. Musfi Romdoni, analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyatakan bahwa ucapan Prabowo memang menarik, tetapi masih perlu pembuktian nyata. Prabowo, kata dia, sedang menghadapi ujian besar: apakah dia akan benar-benar membentuk zaken kabinet—kabinet yang dipenuhi oleh para ahli yang profesional, atau justru tetap mempertahankan status quo dengan memberi kursi kepada partai-partai yang hanya mencari rente.
"Jika Prabowo benar-benar membentuk zaken kabinet, itu akan menjadi sinyal kuat bahwa ia ingin memberantas korupsi dan menghindari menteri yang hanya mencari keuntungan pribadi atau partai," ucap Musfi.
Namun, Musfi juga mengingatkan bahwa politik Indonesia penuh dengan kompromi. Prabowo harus bisa menunjukkan bahwa ia berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya yang cenderung membiarkan korupsi terjadi di balik layar. Jika tidak, pernyataannya hanya akan dianggap sebagai retorika belaka.
Sementara itu, Dedi Kurnia Syah, analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), menilai bahwa ucapan Prabowo terlalu normatif dan tidak membawa solusi konkret. Menurut Dedi, banyak kader partai politik yang sudah terbiasa memadukan kepentingan pribadi, partai, dan negara, sehingga sulit bagi Prabowo untuk memisahkan ketiganya.
Jika Prabowo ingin mewujudkan komitmennya, Dedi menyarankan agar ia mengambil langkah konkret pertama dengan mengembalikan Undang-Undang KPK yang direvisi pada era Jokowi. Ini bisa menjadi awal yang baik untuk mengembalikan independensi dan kekuatan lembaga antirasuah tersebut.
Pada akhirnya, pernyataan Prabowo menjadi sorotan penting dalam dinamika politik Indonesia. Mampukah Prabowo memenuhi janjinya dan membuktikan bahwa kabinetnya akan bersih dari korupsi? Atau, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, ini hanya akan menjadi janji politik yang dilupakan begitu saja? Waktu yang akan menjawabnya.
(Tirto/Mond)
#KabinetPrabowo #PrabowoSubianto #Nasional