PT Sritex: Dari Puncak Kejayaan ke Jurang Kebangkrutan
Karyawan Sritex melaksanakan upacara peringatan HUT ke-74 RI
D'On, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), nama besar yang pernah menjadi kebanggaan industri tekstil Indonesia, kini telah runtuh. Setelah puluhan tahun berjaya dan dikenal di kancah internasional, perusahaan yang pernah memasok seragam militer untuk negara-negara besar, termasuk anggota NATO, harus menerima kenyataan pahit: pailit.
Keputusan ini tak terhindarkan setelah Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, melalui putusan bernomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, menyatakan PT Sritex bersama anak usahanya—PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya—pailit.
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," demikian bunyi putusan tersebut.
Kasus ini berawal dari permohonan yang diajukan oleh Abraham Devrian dan timnya dari PT Indo Bharta Rayon. Mereka mengklaim bahwa Sritex dan afiliasinya telah lalai memenuhi kewajiban pembayaran sesuai putusan homologasi yang disepakati pada 25 Januari 2022. Perkara tersebut resmi didaftarkan pada 2 September 2024.
Sritex: Sang Raksasa Tekstil dengan Sejarah Panjang
Berdiri sejak 1966, Sritex telah melalui berbagai babak sejarah panjang. Didirikan oleh H.M Lukminto, perusahaan ini memulai langkah kecilnya dengan membuka pabrik cetak kain pertamanya pada tahun 1968. Sejak saat itu, Sritex berkembang pesat dan akhirnya terdaftar sebagai perseroan terbatas pada 1978.
Puncak kejayaannya dimulai pada tahun 1982 ketika Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya. Pada 1992, perusahaan ini sukses memperluas produksinya menjadi empat lini: pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan pembuatan busana. Sritex tidak hanya menjadi pemain utama di dalam negeri, namun juga mulai dikenal di kancah internasional.
Tahun 1994 menjadi momen bersejarah ketika Sritex dipercaya sebagai salah satu pemasok seragam militer untuk negara-negara anggota NATO. Kepercayaan besar ini mengukuhkan posisi Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil paling andal di dunia.
Sritex juga berhasil selamat dari krisis moneter 1998, sebuah krisis yang menghantam banyak perusahaan besar di Asia. Tidak hanya bertahan, Sritex justru mampu melipatgandakan pertumbuhannya hingga delapan kali lipat dari kapasitas awal setelah menjadi perusahaan terintegrasi pada 1992. Pencapaian puncak lainnya adalah ketika Sritex resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode saham SRIL.
Krisis Dimulai: Pandemi dan Guncangan Ekonomi
Namun, seperti pepatah yang mengatakan bahwa roda kehidupan terus berputar, nasib Sritex mulai goyah pada tahun 2021. Pandemi COVID-19 memberikan pukulan telak bagi perusahaan ini. Di BEI, saham SRIL sempat dihentikan perdagangannya pada 18 Mei 2021 setelah perusahaan gagal membayar pokok dan bunga Medium Term Note (MTN) tahap III 2018 ke-6 (USD-SRIL01X3MF).
Hingga 18 Mei 2023, BEI telah beberapa kali memberikan surat peringatan kepada Sritex mengenai potensi delisting. Krisis finansial ini akhirnya berdampak pada banyak hal, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Pada Juni 2024, perusahaan terpaksa merumahkan hampir 3.000 karyawan—sekitar 35% dari total tenaga kerjanya. Meski demikian, Sritex masih mempertahankan sekitar 11.000 karyawan.
Pada sebuah konferensi pers pada 24 Juni 2024, Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, menyampaikan bahwa penurunan kinerja perusahaan tak terhindarkan. Selain dampak pandemi, Welly menyoroti kelebihan pasokan tekstil dari China yang mengarah pada praktik dumping. Produk-produk dengan harga dumping tersebut banyak membanjiri pasar negara-negara dengan regulasi impor yang longgar, termasuk Indonesia. Persaingan yang tak seimbang ini membuat Sritex semakin sulit bersaing di pasar internasional maupun domestik.
Ancaman PHK Massal dan Tanpa Pesangon
Krisis finansial Sritex juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh. Ristadi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), menyebut bahwa sekitar 20 ribu pekerja Sritex terancam di-PHK tanpa pesangon. Hal ini terjadi karena utang perusahaan yang jauh melampaui nilai asetnya. "Saat ini, sekitar 20 ribu pekerja terancam di-PHK tanpa pesangon karena utang perusahaan jauh lebih besar daripada nilai aset,” kata Ristadi.
Meski begitu, manajemen Sritex belum menyerah begitu saja. Mereka saat ini tengah melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi guna membatalkan putusan pailit dari pengadilan. Namun, hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pihak manajemen mengenai langkah konkret yang akan diambil terkait status pailit ini.
Harapan yang Redup di Tengah Jalan
Runtuhnya Sritex menjadi sebuah cerita yang tragis, terutama bagi industri tekstil Indonesia yang sedang menghadapi persaingan global yang kian ketat. Dari kejayaan sebagai pemasok seragam militer NATO hingga krisis finansial yang memaksa PHK massal, nasib PT Sritex menggambarkan betapa rapuhnya dunia usaha ketika menghadapi guncangan eksternal yang besar. Nasib 20 ribu pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan tanpa pesangon juga menambah keprihatinan atas dampak sosial yang ditimbulkan.
Kini, semua mata tertuju pada langkah selanjutnya dari manajemen Sritex. Apakah kasasi mereka akan dikabulkan? Ataukah ini benar-benar akhir dari perjalanan panjang Sritex sebagai raksasa tekstil? Hanya waktu yang akan menjawab.
(Mond)
#Sritex #Bisnis