Breaking News

Ronald Tannur: Dari Vonis Bebas hingga Eksekusi Penjara Lima Tahun, Kisah Penuh Intrik

Gregorius Ronald Tannur, mengenakan rompi merah, tiba di Rutan Kelas 1 Medaeng, Surabaya, pada Minggu, 27 Oktober 2024. Foto: Kemenkumham Jatim.


D'On, Jakarta –
Gregorius Ronald Tannur, seorang terdakwa yang sebelumnya dinyatakan bebas dalam kasus penganiayaan yang berujung pada kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti (26), kini mendapati dirinya di balik jeruji besi. Kasus ini bukan hanya menguak kekerasan dalam hubungan pribadi, tetapi juga memantik skandal besar di dunia peradilan Indonesia, di mana suap dan korupsi tampak menjadi bagian dari teka-teki hukum yang rumit.

Pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada 24 Juli lalu, Ronald Tannur sempat dibebaskan oleh majelis hakim yang dipimpin Erintuah Damanik. Momen pembebasan itu menyentuh banyak orang ketika Ronald, yang sedang berdiri di hadapan hakim, melepas kacamata dan mengusap air mata saat mendengar putusan bebas. Putusan ini sontak menjadi perhatian publik. Sejumlah pihak, terutama keluarga korban, merasa heran dan marah atas keputusan tersebut. Di tengah sorotan publik, jaksa penuntut umum (JPU) Ahmad Muzakki menyatakan akan "pikir-pikir" terkait langkah hukum selanjutnya.

Namun, tidak banyak yang tahu, bahwa setelah vonis bebas itu, Tannur sempat melarikan diri ke luar negeri. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, Mia Amiati, mengungkapkan bahwa Tannur memang pernah tercatat pergi ke luar negeri pasca-putusan, meskipun ia kemudian kembali ke Indonesia. Keberangkatannya ini menambah kontroversi seputar kasus yang telah menjadi sorotan nasional.

Suap dan Korupsi: Pengadilan Negeri Surabaya di Bawah Bayang-bayang Gelap

Kasus ini semakin meruncing ketika Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim PN Surabaya yang mengadili kasus Tannur pada 23 Oktober. Mereka adalah Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik, bersama dua hakim anggota, Heru Hanindyo dan Mangapul. Selain itu, seorang pengacara yang diduga sebagai pemberi suap juga turut diamankan oleh Kejaksaan Agung. Diduga, putusan bebas yang diberikan kepada Ronald Tannur tidak semata-mata berdasarkan bukti atau fakta persidangan, melainkan karena suap yang terstruktur dengan rapi.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa penangkapan para tersangka ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Penyelidikan terhadap kasus ini telah berlangsung lama, terutama setelah munculnya polemik di masyarakat yang mempertanyakan putusan bebas bagi Tannur. “Kami sudah lama mengawasi dan akhirnya hari ini kami menetapkan empat tersangka,” ungkap Abdul Qohar kepada media.

Kasasi yang Mengubah Takdir: Hukuman Lima Tahun Penjara untuk Ronald Tannur

Dalam perkembangan mengejutkan, Mahkamah Agung (MA) kemudian mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum. Pada tanggal 23 Oktober, MA memutuskan bahwa Ronald Tannur terbukti bersalah atas penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti. Putusan kasasi ini sekaligus membatalkan vonis bebas yang sebelumnya dijatuhkan oleh PN Surabaya, dan menggantinya dengan hukuman lima tahun penjara.

Ronald Tannur dinyatakan melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian. Menurut juru bicara MA, Yanto, hukuman lima tahun tersebut diambil setelah mempertimbangkan fakta-fakta yang ada, termasuk adanya bukti kuat yang mengarah pada keterlibatan langsung Tannur dalam kematian Dini.

Mantan Pejabat Mahkamah Agung Terseret Skandal

Kisah suap yang melibatkan pembebasan Ronald Tannur ini semakin dalam ketika Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Zarof diduga berperan sebagai perantara dalam suap untuk pengaturan putusan kasasi agar tetap memvonis bebas Ronald Tannur. Bersama dengan pengacara Lisa Rachmat, mereka menjanjikan Rp 5 miliar kepada para hakim kasasi. Dari jumlah tersebut, Rp 1 miliar diduga menjadi fee untuk Zarof.

Zarof mengakui kepada penyidik bahwa ia sempat bertemu dengan salah satu Hakim Agung untuk membicarakan pengaturan putusan tersebut. Meski demikian, pihak Mahkamah Agung menyatakan bahwa mereka belum menerima informasi resmi terkait keterlibatan hakim MA dalam kasus ini. “Proses hukum akan berjalan dan jika memang ada bukti, semuanya akan terungkap,” ujar juru bicara MA, Yanto.

Penyelidikan pun terus berlanjut. Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah para tersangka. Dari penggeledahan tersebut, penyidik berhasil menyita uang tunai senilai Rp 20 miliar yang tersebar dalam berbagai mata uang, termasuk Dolar Amerika, Euro, dan Dolar Singapura. Selain itu, ditemukan juga emas batangan seberat 51 kilogram. Diduga, uang dan emas tersebut merupakan bagian dari suap dan gratifikasi yang diterima oleh Zarof dan pihak terkait.

Eksekusi Ronald Tannur: Kembalinya ke Jeruji Besi

Setelah kasasi diputuskan, tim Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bergerak cepat untuk mengeksekusi Ronald Tannur. Ia diamankan di kediamannya pada Minggu, 27 Oktober. Dalam foto-foto yang beredar, Tannur tampak mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang hitam, sambil membawa beberapa barang pribadinya. Eksekusi berlangsung tanpa perlawanan, dan Tannur segera dibawa ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk menjalani hukuman lima tahun penjara yang telah dijatuhkan kepadanya.

Meski demikian, kasus ini belum sepenuhnya berakhir. Pengusutan terkait suap yang melibatkan mantan pejabat MA dan beberapa hakim masih terus dikembangkan oleh Kejaksaan Agung. Dengan pengungkapan tumpukan uang dan emas dalam berbagai penggeledahan, banyak yang memperkirakan bahwa skandal ini dapat melibatkan lebih banyak pihak di dunia peradilan Indonesia. Kasus Ronald Tannur bukan hanya menjadi contoh kejahatan personal, tetapi juga menyingkap tabir gelap di balik sistem hukum yang korup di negeri ini.

(Mond)

#Suap #SuapKasusRonaldTannur #Hukum #MafiaPeradilan