Sejak 2004, 385 Anggota DPR dan DPRD Terjerat Kasus Korupsi: Alarm yang Tak Kunjung Reda
Ilustrasi
D'On, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap data mencengangkan. Sejak didirikan pada 2004 hingga September 2024, sebanyak 385 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah terseret kasus korupsi. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan masalah sistemik dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
Dari keseluruhan kasus tersebut, 147 di antaranya berasal dari Jawa Timur, menjadikan provinsi ini sebagai wilayah dengan angka korupsi tertinggi di kalangan anggota dewan. Pernyataan ini diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK, Didik Agung Widjanarko, saat menghadiri acara pengukuhan komitmen anti korupsi bersama 119 anggota DPRD Jawa Timur periode 2024-2029. Acara ini digelar sebagai upaya mencegah potensi tindak pidana korupsi di kalangan pejabat daerah yang baru dilantik.
"Data ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Dengan adanya komitmen anti korupsi ini, diharapkan akan terjadi perbaikan nyata dalam tata kelola pemerintahan di Jawa Timur," tegas Didik.
Mengurai Akar Masalah Korupsi di Jawa Timur
Korupsi di kalangan anggota dewan sering kali terkait dengan kasus suap, kolusi, dan nepotisme. Namun, di Jawa Timur, permasalahan ini memiliki dinamika yang lebih kompleks. Dari banyaknya kasus korupsi yang terjadi, salah satu yang paling mencolok adalah penyalahgunaan dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokir) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur periode 2019-2022. Kasus tersebut melibatkan 21 tersangka, termasuk sejumlah anggota DPRD yang berperan aktif dalam proses penganggaran.
Dana hibah pokir pada dasarnya dirancang untuk mendukung program-program pembangunan yang diusulkan oleh masyarakat melalui wakil-wakil mereka di DPRD. Namun, mekanisme ini sering kali diselewengkan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Anggota dewan yang seharusnya menjadi perwakilan aspirasi rakyat, malah terjebak dalam konflik kepentingan yang berujung pada korupsi.
"Pokok pikiran anggota dewan seharusnya menjadi saluran aspirasi publik, bukan alat untuk memperkaya diri. Komitmen ini akan menjadi batu loncatan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi," tambah Didik.
Membangun Integritas dari Hulu ke Hilir
Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat hanya bergantung pada penindakan. Menurut Didik, reformasi harus dimulai dari hulu dengan membangun kesadaran, integritas, dan transparansi di kalangan pejabat daerah. Dalam pengukuhan komitmen anti korupsi di Jawa Timur, KPK memperkenalkan tujuh poin penting yang menjadi fondasi bagi para anggota DPRD dalam menjalankan tugas mereka. Poin-poin ini meliputi larangan tegas terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pentingnya menjaga integritas dan menghindari konflik kepentingan.
Selain pengukuhan komitmen, KPK juga menyelenggarakan rapat koordinasi (rakor) terkait perencanaan APBD tahun 2025 bersama sejumlah pemerintah daerah di Jawa Timur, seperti Pemerintah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Gresik. Tujuan rakor ini adalah untuk memperkuat pengawasan terhadap proses perencanaan dan penganggaran, dua dari delapan fokus area yang dipantau KPK melalui Monitoring Center for Prevention (MCP). Skor MCP Jawa Timur pada tahun 2023 tercatat berada di angka 91, masuk dalam kategori "Terjaga". Meski demikian, KPK berharap nilai ini bisa terus ditingkatkan agar tata kelola pemerintahan daerah semakin baik.
"Perencanaan APBD harus berpedoman pada kebutuhan masyarakat yang nyata, bukan hanya berdasarkan kepentingan segelintir elit politik. Semua elemen, mulai dari penganggaran, pengawasan, hingga otorisasi, harus berjalan dengan transparan dan akuntabel," lanjut Didik.
Menghentikan Siklus Buruk: Harapan untuk Masa Depan
Kasus-kasus korupsi yang menjerat anggota DPR dan DPRD sejak 2004 menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi adalah pekerjaan rumah besar yang belum selesai. Setiap periode politik baru, harapan publik akan perubahan selalu tinggi, namun sering kali diiringi oleh kekecewaan karena banyaknya pejabat yang tergoda oleh kuasa dan uang.
Momentum pengukuhan komitmen anti korupsi ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memutus siklus tersebut. Dengan adanya kesadaran yang kuat dan pengawasan yang ketat, Jawa Timur bisa menjadi contoh bagaimana perubahan nyata dapat diwujudkan. Namun, semua itu hanya bisa terjadi jika komitmen ini dijalankan dengan konsisten, bukan sekadar simbolisme belaka.
KPK, bersama masyarakat, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa integritas para pejabat terjaga, dan hukum ditegakkan dengan adil. Karena di balik setiap kasus korupsi, selalu ada hak-hak rakyat yang dirampas, dan itulah yang seharusnya kita lawan bersama.
(Mond)
#KPK #Korupsi