Breaking News

Tanda-Tanda Awal Masalah Kejiwaan pada Remaja yang Sering Terabaikan

Ilustrasi 

Dirgantaraonline -
Masa remaja adalah masa transisi yang penuh dengan tantangan emosional, sosial, dan fisik. Sayangnya, tidak semua remaja dapat melewati fase ini dengan baik, dan beberapa di antaranya mengalami masalah kesehatan mental yang seringkali tidak disadari. Menurut survei terbaru Indonesia-national Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, ditemukan bahwa sekitar 15,5 juta remaja di Indonesia atau sekitar 34,8% dari total populasi remaja, berpotensi mengalami masalah kesehatan mental. Angka ini tentu mengejutkan dan menjadi peringatan bahwa perhatian lebih serius perlu diberikan pada isu ini.

Menangkap Tanda-Tanda Masalah Kejiwaan pada Remaja

Dr. Hafid Algristian, Spesialis Kejiwaan (SpKJ), mengungkapkan bahwa tanda-tanda masalah kesehatan mental pada remaja bisa terlihat cukup jelas tanpa harus melalui diagnosis medis yang mendalam. Salah satu indikator paling mudah diidentifikasi adalah ketika seseorang mulai mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

“Jika seseorang sudah tidak bisa produktif atau kesulitan berkonsentrasi dalam aktivitas sehari-harinya, itu adalah tanda bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi psikologisnya. Ini adalah sinyal awal bahwa mereka membutuhkan konsultasi dengan profesional,” ujar dr. Hafid dalam wawancara dengan Basra.

Namun, ia juga mengingatkan pentingnya untuk tidak terburu-buru memberi label atau menghakimi bahwa seseorang pasti mengalami gangguan mental. “Tidak bijak jika kita langsung menyimpulkan seseorang mengalami gangguan kejiwaan hanya karena melihat tanda-tanda awal tersebut. Perlu pendekatan yang lebih hati-hati agar tidak menimbulkan stigma negatif,” tegasnya.

Mengidentifikasi Akar Permasalahan: Kunci Pemulihan

Ketika tanda-tanda awal seperti kesulitan konsentrasi atau produktivitas menurun mulai terlihat, langkah pertama yang perlu diambil adalah mengidentifikasi akar penyebab dari masalah tersebut. Pada banyak kasus, kesulitan konsentrasi bisa disebabkan oleh beragam faktor, termasuk kecemasan, depresi, atau bahkan trauma yang pernah dialami.

“Jika masalahnya adalah kecemasan, maka kecemasan itu yang harus kita atasi terlebih dahulu. Namun, jika kesulitan konsentrasi itu berasal dari depresi atau trauma yang mendalam, maka kita perlu fokus pada penyembuhan kondisi tersebut terlebih dahulu,” jelas dr. Hafid, yang juga merupakan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).

Pendekatan ini menekankan pentingnya memahami bahwa masalah mental pada remaja bukanlah masalah satu dimensi. Setiap individu memiliki penyebab dan latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih mendalam dalam menelusuri penyebab dan mencari solusi yang tepat bagi setiap remaja yang mengalaminya.

Peran Orang Tua: Benteng Utama Kesehatan Mental Anak

Selain intervensi dari ahli kesehatan mental, peran orang tua juga tidak bisa diabaikan dalam membantu remaja menghadapi masalah mental. Dr. Hafid menegaskan bahwa orang tua perlu lebih memperhatikan kondisi anak mereka, meskipun mereka mungkin sibuk dengan pekerjaan atau aktivitas lain.

"Sesibuk apa pun, orang tua harus bisa memberikan perhatian yang cukup kepada anak. Jangan sampai anak merasa diabaikan karena ini bisa memicu stres lebih lanjut. Anak yang merasa tidak diperhatikan cenderung lebih mudah mengalami masalah psikologis saat menghadapi tekanan," ungkapnya.

Selain itu, Hafid juga menyoroti pentingnya orang tua dalam membentuk respons psikologis anak terhadap situasi sulit. Ketika seorang anak dihadapkan pada masalah, cara orang tua merespons dan memberi dukungan akan sangat mempengaruhi bagaimana anak tersebut memproses emosinya. Jika orang tua cenderung merespons dengan sikap yang terlalu keras atau acuh tak acuh, anak bisa tumbuh dengan pola pikir yang ekstrem, seperti mudah cemas atau merasa tidak berharga saat dihadapkan dengan masalah.

Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati

Dalam menghadapi masalah kesehatan mental pada remaja, pendekatan preventif selalu lebih baik daripada menunggu masalah tersebut menjadi semakin parah. Edukasi mengenai kesehatan mental di kalangan remaja perlu ditingkatkan, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Remaja perlu diberikan ruang untuk berbicara tentang perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau distigmatisasi.

Selain itu, penting juga bagi masyarakat untuk menghapus stigma negatif terkait dengan gangguan mental. Banyak remaja yang enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau “tidak normal.” Padahal, berbicara dengan seorang profesional adalah langkah awal yang sangat penting dalam proses penyembuhan.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam, perhatian yang tulus dari orang tua, serta dukungan dari lingkungan, diharapkan lebih banyak remaja dapat terhindar dari masalah kesehatan mental yang berkepanjangan. Orang tua, guru, dan teman-teman memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional dan psikologis yang dibutuhkan oleh remaja.

Gangguan mental pada remaja adalah masalah yang nyata dan membutuhkan penanganan yang serius. Tanda-tanda awal seperti penurunan produktivitas dan kesulitan konsentrasi tidak boleh diabaikan. Dengan perhatian yang tepat, baik dari orang tua maupun profesional kesehatan, remaja dapat pulih dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang. Semakin cepat kita mengenali tanda-tanda ini, semakin besar peluang untuk memberikan bantuan yang tepat dan mencegah masalah tersebut berkembang menjadi lebih parah.

(Rini)

#MentalHealth #Gayahidup #Lifestyle