Breaking News

Yusril Ihza Mahendra Tegaskan Tragedi Mei 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat: Ini Alasannya

Yusril Ihza Mahendra meninggalkan kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto di Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). Foto: Tirto.


D'On, Jakarta –
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, baru-baru ini mengeluarkan klarifikasi penting terkait pernyataannya mengenai peristiwa kelam yang mengguncang Indonesia pada Mei 1998. Tragedi yang menandai runtuhnya Orde Baru tersebut, menurut Yusril, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pandangan ini didasarkan pada tidak adanya bukti kuat mengenai genosida atau pembersihan etnis selama kerusuhan tersebut.

Dalam keterangannya di Komplek Istana Kepresidenan pada Selasa (22/10/2024), Yusril menjelaskan secara rinci pernyataannya yang menjadi polemik di kalangan publik. Menurutnya, dua unsur kunci dalam definisi pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan ethnic cleansing, tidak terjadi selama peristiwa tersebut. "Kemarin ditanyakan kepada saya apakah ada genocide atau ethnic cleansing, kalau memang dua poin itu yang ditanyakan memang tidak terjadi saat tahun 1998," tegas Yusril.

Posisi Yusril sebagai Ahli HAM

Sebagai tokoh yang aktif merumuskan kebijakan hukum di Indonesia, Yusril menegaskan kredensialnya dalam hal ini. Ia menyebutkan bahwa dialah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga memiliki pemahaman yang mendalam terkait kategori pelanggaran HAM berat dalam konteks hukum Indonesia.

"Saya yang mengajukan RUU Pengadilan HAM ke DPR, jadi saya tahu betul apa yang termasuk pelanggaran HAM berat dalam Undang-undang Peradilan kita sendiri," kata Yusril dengan nada yakin. Ia juga menambahkan bahwa pemahaman ini berangkat dari pengalamannya yang panjang di dunia hukum, khususnya terkait kasus-kasus HAM.

Namun, pernyataan Yusril ini juga mengundang banyak pertanyaan, terutama dari berbagai elemen masyarakat yang masih merasakan luka mendalam akibat tragedi tersebut. Pertanyaan seputar keadilan bagi korban kekerasan dan pelanggaran selama Mei 1998 kembali mencuat, mendorong urgensi untuk mengusut kasus ini secara tuntas.

Dialog dengan Natalius Pigai dan Telaah Rekomendasi Komnas HAM

Yusril tidak menutup kemungkinan adanya peninjauan ulang terhadap berbagai laporan dan rekomendasi Komnas HAM yang selama ini menyebut peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Ia berencana untuk melakukan diskusi dengan Menteri HAM, Natalius Pigai, guna memastikan apakah ada langkah-langkah baru yang dapat diambil pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.

"Saya akan komunikasikan hal ini dengan Pak Natalius Pigai. Kami akan menelaah dan mempelajari berbagai rekomendasi pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan melihat bagaimana sikap pemerintah ke depan," tambahnya.

Hal ini sejalan dengan komitmen yang telah ditekankan oleh pasangan pemimpin terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang menurut Yusril, bertekad untuk menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan menegakkan hukum dalam pemerintahan mereka selama lima tahun ke depan.

Komitmen Teguh Pemerintahan Prabowo-Gibran Terhadap HAM

Yusril juga menekankan bahwa pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo dan Gibran memiliki komitmen kuat dalam menegakkan hukum dan HAM di Indonesia. Menurutnya, hal ini menjadi fondasi penting yang akan menjadi pegangan dalam menjalankan pemerintahan.

"Kami memiliki satu keyakinan yang teguh. Pemerintah yang baru di bawah kepemimpinan Pak Prabowo memiliki komitmen teguh melaksanakan hukum yang tegas dan menjunjung tinggi HAM," ujar Yusril dengan optimisme.

Pernyataan ini menjadi penanda bahwa pemerintah di bawah Prabowo dan Gibran akan memprioritaskan HAM dalam setiap kebijakan mereka, meski polemik tentang pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya terkait Tragedi Mei 1998, tetap menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat.

Walaupun Yusril menegaskan bahwa unsur genosida dan pembersihan etnis tidak terjadi pada peristiwa 1998, banyak pihak yang berharap agar kasus ini tidak hanya dilihat dari sudut pandang hukum semata. Tragedi Mei 1998 merupakan luka historis yang mendalam bagi bangsa, terutama bagi mereka yang kehilangan anggota keluarga, rumah, dan rasa aman selama kerusuhan berlangsung.

Kelompok korban dan aktivis HAM menuntut agar pemerintah tak hanya fokus pada definisi formal pelanggaran HAM berat, tetapi juga pada penegakan keadilan bagi mereka yang terdampak. Sehingga, harapan untuk mengungkap seluruh kebenaran dan memberikan keadilan yang komprehensif masih menjadi tuntutan publik yang belum sepenuhnya terjawab.

(Mond)

#Tragedi98 #HAM #YusrilIhzaMahendra #nasional