5 Dalil Pengacara Tom Lembong Minta Hakim Batalkan Status Tersangka Kliennya
D'On, Jakarta – Mantan Menteri Perdagangan RI 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau lebih dikenal sebagai Tom Lembong, kini berada di ujung penentuan nasib hukumnya. Hari ini, Selasa (26/11), Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan menggelar sidang putusan praperadilan terkait status tersangkanya dalam dugaan kasus korupsi impor gula.
Melalui pengacaranya, Ari Yusuf Amir, Tom Lembong meminta hakim membatalkan status tersangkanya yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Dalam sidang praperadilan yang telah berlangsung sejak Senin (18/11), Ari mengemukakan lima dalil utama yang diyakini membuktikan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sah. Berikut adalah rincian argumentasi yang disampaikan:
1. Hak untuk Memilih Pengacara Tidak Dipenuhi
Ari Yusuf Amir menyoroti bahwa Kejagung tidak memberikan kesempatan kepada Tom Lembong untuk memilih penasihat hukum sesuai keinginannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan 55 KUHAP. Pelanggaran ini, menurut Ari, adalah tindakan sewenang-wenang.
“Pemohon (Tom Lembong) tidak diberi waktu dan kesempatan yang layak untuk menunjuk penasihat hukum yang diinginkannya. Hal ini melanggar hak mendasar sebagaimana dijamin undang-undang,” tegas Ari dalam persidangan, Senin (25/11).
Ahli hukum pidana, Prof. Mudzakkir, turut memberikan pendapat dalam persidangan. Ia menegaskan bahwa jika seseorang tidak diberikan hak untuk memilih penasihat hukumnya dan dipaksakan menerima pengacara pilihan penyidik, maka proses tersebut cacat hukum. “Penetapan tersangka seperti itu tidak sah karena melanggar Pasal 54 dan 55 KUHAP,” jelasnya.
2. Ketiadaan Bukti yang Sah dan Relevan
Dalam kasus dugaan korupsi impor gula ini, Ari mengungkapkan bahwa Kejagung tidak memiliki dua alat bukti yang sah dan relevan sebagaimana dipersyaratkan Pasal 184 KUHAP. Salah satu yang menjadi sorotan adalah absennya perhitungan kerugian negara yang harus dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kejagung mengklaim memiliki empat alat bukti, tetapi bukti-bukti tersebut tidak relevan untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi,” jelas Ari. Ia menambahkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 menggariskan bahwa alat bukti harus cukup terang untuk membuktikan tindak pidana, bukan sekadar formalitas.
Lebih lanjut, Ari juga menilai Kejagung gagal membuktikan unsur-unsur yang disangkakan, seperti kerugian negara, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan memperkaya diri sendiri atau pihak lain.
3. Keterlambatan Pemberitahuan SPDP
Ari menilai bahwa Kejagung telah melanggar prosedur dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) lebih dari tujuh hari setelah penerbitan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Berdasarkan Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015, SPDP harus diterima tersangka atau terlapor dalam waktu tujuh hari.
“Klien kami baru menerima SPDP pada 29 Oktober 2024, padahal Sprindik diterbitkan sejak awal Oktober 2023. Ini jelas pelanggaran prosedural,” tegas Ari.
Dalam pembelaannya, Kejagung berdalih menggunakan Sprindik umum, yang tidak menyebutkan nama tersangka. Namun, ahli pidana Chairul Huda yang dihadirkan tim pengacara Tom Lembong menyatakan bahwa istilah “Sprindik umum” tidak relevan karena calon tersangka sudah pasti diketahui sejak awal penyidikan.
4. Dugaan Penegakan Hukum yang Tebang Pilih
Pengacara Tom Lembong juga menuding bahwa Kejagung telah melakukan tindakan tebang pilih dalam penyelidikan kasus ini. Dugaan korupsi impor gula mencakup periode 2015–2023, yang melibatkan enam Menteri Perdagangan, termasuk Tom Lembong. Namun, hanya Tom yang dijadikan tersangka.
“Kenapa hanya klien kami yang diperiksa? Padahal ada lima Menteri Perdagangan lainnya dalam periode yang sama,” protes Ari. Kelima mantan Mendag tersebut adalah Rachmad Gobel, Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan.
Selain itu, audit investigasi Kejagung hanya mencakup periode 2015–2016, tanpa menyentuh periode setelahnya. “Ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum,” tambah Ari.
5. Penahanan yang Dinilai Sewenang-wenang
Ari juga menyebut bahwa penahanan terhadap kliennya tidak memenuhi dasar hukum. Ia menegaskan bahwa Tom Lembong selalu kooperatif, tidak melarikan diri, dan tidak memiliki akses untuk menghilangkan barang bukti.
“Alasan objektif dan subjektif yang digunakan Kejagung untuk menahan klien kami tidak terbukti. Ini adalah bentuk kriminalisasi,” tegas Ari.
Tanggapan Kejagung
Dalam sidang yang sama, pihak Kejagung menolak seluruh dalil yang diajukan oleh kuasa hukum Tom Lembong. Mereka menyatakan bahwa penetapan dan penahanan tersangka sudah sesuai hukum.
“Petitum praperadilan ini tidak berdasar dan tidak jelas. Kami meminta hakim untuk menolaknya,” ujar jaksa dari Kejagung.
Latar Belakang Kasus
Kasus ini bermula dari dugaan korupsi impor gula pada 2015–2016, ketika Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kejagung menduga bahwa keputusan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton pada 2015 dan penugasan PT PPI untuk memenuhi stok gula nasional pada 2016 menyebabkan kerugian negara hingga Rp 400 miliar.
Kejagung menuding bahwa keuntungan yang seharusnya masuk ke BUMN justru mengalir ke pihak swasta. Tom Lembong membantah semua tudingan tersebut dan menggugat status tersangkanya melalui praperadilan.
Hari ini, nasib hukum Tom Lembong berada di tangan hakim tunggal PN Jakarta Selatan. Keputusan yang diambil tidak hanya akan memengaruhi dirinya, tetapi juga menjadi ujian bagi proses penegakan hukum di Indonesia.
(Mond)
#TomLembong #Hukum #Kejagung #KorupsiImporGula