Ayah Kehilangan Hak sebagai Orang Tua Jika Merugikan dan Membahayakan Anak
Ilustrasi
D'On, Jakarta - Dalam upaya melindungi hak dan kepentingan anak, pencabutan status seorang ayah kini dimungkinkan melalui proses hukum di Indonesia. Terutama ketika sang ayah terbukti melakukan tindakan yang membahayakan atau merugikan anaknya secara serius, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Contoh terbaru dalam kasus ini adalah gugatan yang diajukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung terhadap seorang pria berinisial RH, yang dianggap tidak layak lagi memegang kekuasaan sebagai orang tua setelah melakukan kejahatan seksual terhadap anak kandungnya.
Kasus RH: Perlindungan Hukum untuk Anak Korban Kekerasan
RH, yang sebelumnya divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bandung pada 2022 karena melakukan pemerkosaan terhadap anak perempuannya yang berusia 14 tahun, kini menghadapi gugatan baru terkait pencabutan kekuasaan sebagai ayah. Gugatan ini didaftarkan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) di Pengadilan Agama Bandung dengan tujuan menghilangkan status hukum RH sebagai orang tua dari anak tersebut. Sidang perdana dijadwalkan pada 12 November 2024.
Gugatan ini mengacu pada Pasal 319 huruf A Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberi wewenang kepada negara, melalui kejaksaan, untuk mengajukan permohonan pencabutan hak orang tua dalam kasus-kasus yang ekstrem seperti ini. Menurut Tumpal H Sitompul, Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejari Bandung, selain meminta pencabutan hak sebagai ayah, pihaknya juga mengajukan permohonan agar ibu kandung anak tersebut ditetapkan sebagai wali pengganti.
Langkah Bersejarah di Lombok Tengah
Upaya hukum semacam ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Lombok Tengah berhasil mencatat sejarah dengan mengajukan gugatan pencabutan kekuasaan ayah di Pengadilan Agama Praya. Dalam kasus yang melibatkan seorang ayah bernama Ipin alias Amaq Indra, majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan secara verstek—yaitu tanpa kehadiran tergugat di persidangan.
Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa tergugat terbukti telah melalaikan tanggung jawabnya sebagai orang tua dan bahkan melakukan kejahatan seksual terhadap anak kandungnya sendiri. Oleh karenanya, hak asuh serta kekuasaan ayah terhadap anak tersebut dicabut, dan wali baru dari pihak keluarga ditetapkan. Kepala Kejari Lombok Tengah, Nurintan Sirait, menegaskan bahwa putusan ini diambil berdasarkan pertimbangan hukum yang memperlihatkan bahwa tindakan ayah tersebut jelas membahayakan dan merusak masa depan anak.
Pakar Hukum: Proses Pencabutan Hak Ayah Harus Melalui Pengadilan
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menekankan bahwa pencabutan hak atau kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya merupakan langkah yang sah, namun harus melalui proses pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Fickar menjelaskan, jika seorang ayah dicabut haknya, maka ia tidak lagi memiliki otoritas untuk melakukan tindakan yang biasanya dianggap sebagai bagian dari pendidikan orang tua, seperti menegur atau bahkan menghukum secara fisik anaknya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penganiayaan dan dikenai sanksi pidana.
Namun, meskipun hak dan kewajiban seorang ayah secara legal dicabut, hubungan biologis antara ayah dan anak tetap ada. Ini berarti, kewajiban ayah untuk memberikan nafkah atau tanggung jawab finansial lainnya terhadap anak tidak otomatis hilang, kecuali ada keputusan pengadilan yang mengatur sebaliknya. “Ini adalah langkah untuk melindungi anak tanpa sepenuhnya memutuskan hubungan lahiriah antara keduanya,” ujar Fickar.
Perspektif Perlindungan Anak: Negara Hadir untuk Korban
Muhamad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyebut langkah hukum pencabutan kekuasaan orang tua ini sebagai bentuk perlindungan negara terhadap korban kekerasan anak. Menurutnya, tindakan ini tidak hanya bertujuan mencegah trauma lanjutan bagi korban tetapi juga merupakan sinyal yang kuat bahwa perlindungan terhadap anak menjadi prioritas utama negara. “Kejaksaan bisa dianggap sebagai perpanjangan tangan negara dalam melaksanakan kewajiban melindungi hak-hak korban,” ujar Isnur.
Isnur menilai bahwa pendekatan ini bersifat progresif dan inovatif karena memberikan ruang bagi korban untuk pulih dari trauma serta menghindari potensi kekerasan berulang. Ini menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam dalam kasus kekerasan anak, melainkan mengambil tindakan hukum yang tegas untuk memberikan rasa aman dan lingkungan yang lebih sehat bagi korban.
Hak Anak dan Kepentingan Terbaik untuk Masa Depan
Firli Zikrillah, Komisioner Bidang Data dan Informasi Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, menegaskan bahwa pencabutan status ayah dalam konteks hukum perlindungan anak merupakan langkah penting dalam memperkuat hak kepentingan anak sesuai dengan prinsip Konvensi Hak Anak (KHA). Menurutnya, meskipun dalam peraturan perundang-undangan tidak dikenal istilah "mantan ayah", prinsip "best interest of the child" (kepentingan terbaik bagi anak) harus selalu menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan.
“Harapannya, dengan pencabutan kekuasaan ini, anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan lebih mendukung proses pemulihan emosionalnya,” ujar Firli. Ia menambahkan bahwa langkah ini juga diharapkan dapat memaksimalkan proses penyembuhan psikologis anak, sehingga anak memiliki kesempatan untuk menjalani masa depan yang lebih baik dan terbebas dari bayang-bayang trauma kekerasan yang dialaminya.
Arah Baru dalam Perlindungan Hukum Anak di Indonesia
Kasus seperti yang melibatkan RH dan Amaq Indra merupakan contoh nyata bahwa upaya hukum untuk melindungi anak dari kekerasan keluarga semakin ditingkatkan. Negara, melalui kejaksaan dan lembaga hukum lainnya, mulai lebih proaktif dalam memprioritaskan hak-hak anak sebagai bagian integral dari sistem perlindungan hukum yang lebih luas. Pencabutan hak orang tua bukan hanya soal sanksi bagi pelaku, tetapi juga tentang memberikan keadilan dan keamanan bagi korban, serta memastikan bahwa generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan penuh kasih sayang.
Langkah hukum ini, meskipun belum banyak diaplikasikan, menunjukkan arah baru dalam penegakan hak anak di Indonesia. Di masa depan, diharapkan ada lebih banyak tindakan serupa yang diambil oleh penegak hukum untuk melindungi kepentingan anak dan memastikan bahwa mereka dapat tumbuh dalam suasana yang aman, bebas dari ancaman kekerasan atau pelecehan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.
(Mond)
#Hukum