Elie Aiboy: Perjalanan Legenda Timnas Indonesia dari Jayapura ke Puncak Karier Sepak Bola
Elie Aiboy
Dirgantaraonline - Di sebuah sudut Jayapura, 20 April 1979, lahir seorang anak yang kelak menjadi legenda sepak bola Indonesia. Namanya Elie Aiboy, anak yang awalnya hanya seorang bocah penggemar bola seperti banyak anak lain di tanah Papua. Hari-harinya dipenuhi tawa dan permainan, berlari tanpa henti di pantai, mengejar bola dengan teman-temannya. Namun, di balik keceriaan itu, tersimpan bakat luar biasa yang suatu hari akan membawanya ke pentas tertinggi sepak bola nasional dan internasional.
Talenta yang Mengalir dari Sang Ayah
Bakat Elie ternyata bukan kebetulan. Ia menurun dari sang ayah, Hendrik Aiboy, yang dikenal sebagai pemain sepak bola andal di kampung halamannya, Serui. Meski berbakat, Hendrik memilih jalur hidup yang berbeda. Ia menjadi seorang guru dan menetap di Jayapura, meninggalkan impiannya bermain sepak bola profesional. "Mungkin mimpi itu akhirnya dititipkan kepada saya," ujar Elie mengenang.
Mengasah Kemampuan di Alam Papua
Bermain sepak bola di pantai dan pegunungan menjadi kebiasaan Elie kecil. Alam Papua yang keras dan menantang tanpa sadar membentuk gaya bermainnya—lincah, cepat, dan tak kenal lelah. Dari pertandingan antar kampung hingga turnamen antar sekolah, Elie selalu menjadi pemain andalan. Kemenangan di kejuaraan tingkat SMP se-Jayapura membawanya ke seleksi tim Papua untuk Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 1994.
Namun, Elie sempat merasa minder. Tim Popnas Papua dihuni pemain-pemain berbakat dari Diklat Papua, seperti Ortisan Solossa dan Erol FX Iba, sementara dirinya hanyalah "anak kampung" yang tak pernah ikut sekolah sepak bola (SSB). “Awalnya saya takut, tapi saya ingat ini kesempatan besar. Saya harus berjuang,” ujar Elie. Ia pun membuktikan diri dengan mengikuti arahan pelatih, menjadi pemain yang cerdas dan selalu siap melayani penyerang.
Seleksi Timnas U-19: Awal dari Petualangan Besar
Performa apik Elie di Popnas membuka pintu menuju level nasional. Ia mendapat panggilan seleksi di Jakarta, bersama Ortisan Solossa, David Abisay, dan Emmanuel Korey. Namun, Ortisan memutuskan untuk tidak ikut. Elie yang saat itu masih 15 tahun sempat merasa ragu. “Anak kampung seperti saya, kok bisa sampai Jakarta?” pikirnya. Tapi semangatnya tak surut. “Semoga ini jalan Tuhan,” doa Elie dalam hati.
Setelah latihan adaptasi di Diklat Ragunan, Elie diminta mengikuti seleksi ke Sawangan untuk Timnas Indonesia U-19. Ia ingat kata-kata pelatihnya, Danurwindo, “Kalau tidak lolos, balik lagi ke Ragunan. Tapi kalau lolos, kamu masuk Timnas.” Elie pun lolos dan masuk ke Tim Baretti II, tim muda yang digembleng di Italia selama setahun.
Menimba Ilmu di Italia: Pelatih Hebat dan Idola Baru
Di Italia, Elie diasuh oleh Tord Grip, asisten pelatih Sampdoria asal Swedia. Grip menjadi sosok penting dalam perkembangan Elie. “Ia mendorong saya untuk berlatih lebih keras. Setiap hari saya harus melakukan crossing 50 kali dengan kaki kanan dan kiri,” kata Elie. Dari tribun dekat lapangan, Elie menyaksikan langsung aksi pemain-pemain dunia, termasuk idolanya, Gabriel Batistuta dari Fiorentina. “Dia ganteng sekali, dan permainannya luar biasa,” kenangnya.
Meski perjalanan Baretti II di Kualifikasi Piala Asia U-19 berakhir sebagai runner-up grup—hanya juara grup, China, yang lolos ke putaran final—pengalaman ini menjadi titik awal karier panjang Elie di Timnas U-19 dan U-23.
Menyumbang Prestasi untuk Indonesia
Elie turut berkontribusi membawa Indonesia meraih gelar Kejuaraan Pelajar Asia 1996 di Malaysia. Tak lama setelah itu, pada 1997, ia memulai karier profesional bersama PSB Bogor. Setahun kemudian, impiannya terwujud saat bergabung dengan klub idolanya, Persipura Jayapura. Namun, kariernya di Persipura hanya bertahan satu musim. Ia kemudian merantau ke klub-klub elite Indonesia seperti Semen Padang, Persija Jakarta, Arema Malang, dan PSMS Medan.
Puncak Karier di Selangor FA
Momen terbaik Elie di level klub datang saat ia bermain untuk Selangor FA di Malaysia, bergabung atas ajakan Bambang Pamungkas. Di sana, duet Elie dan Bambang menjadi legenda. Musim 2005/2006, mereka membawa Selangor meraih treble winner dengan menjuarai Liga Perdana Malaysia, Piala Malaysia, dan Piala FA Malaysia.
“Saya tertarik ke Selangor karena ajakan Bepe. Tapi ternyata itu jadi salah satu keputusan terbaik dalam karier saya,” ujar Elie. Ketika regulasi Liga Malaysia melarang pemain asing pada 2007, Elie kembali ke Indonesia. Setahun kemudian, ia kembali ke Selangor setelah regulasi tersebut diubah.
Warisan Seorang Legenda
Hingga hari ini, nama Elie Aiboy tetap dikenang sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Perjalanan kariernya, dari pantai-pantai Jayapura hingga tribun megah di Italia dan kejayaan di Malaysia, adalah kisah tentang mimpi yang terwujud melalui kerja keras dan keyakinan.
“Elie bukan hanya pemain yang berbakat, tapi juga pemain yang selalu memberikan segalanya untuk tim,” kata salah satu mantan pelatihnya.
Di hati para penggemar, Elie Aiboy adalah simbol perjuangan, dedikasi, dan inspirasi bagi generasi muda Indonesia.
(Mond)
#Sepakbola #Olahraga #ElieAiboy