Breaking News

Gubernur Bengkulu Tersandung Kasus Pemerasan dan Gratifikasi, KPK Tetapkan Tiga Tersangka

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, untuk pemeriksaan, Minggu (24/11/2024).


D'On, Jakarta –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah (RM), sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi. Kasus ini berkaitan dengan penggalangan dana untuk pencalonannya di Pilkada 2024. Bersama Rohidin, KPK juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka, yakni Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri (IF), dan ajudannya, Evriyansyah alias Anca (EV).

Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Minggu (24/11/2024), Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menjelaskan bahwa bukti awal yang kuat telah ditemukan, sehingga kasus ini dinaikkan ke tahap penyidikan. "KPK telah menemukan adanya bukti permulaan yang cukup untuk menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan," tegasnya.

Modus Operandi: Penggalangan Dana dan Tekanan pada Kepala Dinas

Kasus ini bermula pada Juli 2024, saat Rohidin meminta bantuan kepada Isnan untuk mengumpulkan dana dan mengoordinasikan tim pendukung wilayah guna mendukung pencalonannya sebagai gubernur dalam Pilkada Serentak yang dijadwalkan berlangsung November 2024. Permintaan itu segera ditindaklanjuti Isnan dengan mengadakan rapat bersama kepala organisasi perangkat daerah (OPD) serta kepala biro di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Dalam rapat tersebut, Isnan diduga memerintahkan kepala dinas untuk memberikan kontribusi dana dengan dalih membantu pencalonan gubernur. Namun, tekanan yang digunakan untuk memobilisasi dana ini terungkap melalui pengakuan sejumlah kepala dinas yang merasa dipaksa.

Salah satu contoh nyata adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Syafriandi, yang menyerahkan uang sebesar Rp200 juta agar tidak dicopot dari jabatannya. Selain itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR), Tejo Suroso (TS), juga menyetorkan uang senilai Rp500 juta yang berasal dari potongan anggaran Alat Tulis Kantor (ATK), perjalanan dinas (SPPD), dan tunjangan pegawai. Dalam percakapan yang terungkap, Rohidin bahkan memperingatkan Tejo, “Jika saya tidak terpilih lagi sebagai gubernur, Anda akan diganti.”

Tidak berhenti di situ, Rohidin juga memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Saidirman, untuk mencairkan honor Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Guru Tidak Tetap (GTT) sebelum hari pencoblosan pada 27 November 2024, yang diduga bertujuan menarik simpati masyarakat.

Hasil Penggalangan Dana dan Operasi Tangkap Tangan

Melalui berbagai sumber tersebut, total dana yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp1.405.750.000. Uang ini diserahkan kepada Rohidin oleh Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra, Ferry Ernest Parera, melalui ajudannya, Evriyansyah.

Puncaknya, KPK berhasil menangkap ketiga tersangka melalui operasi tangkap tangan (OTT) pada Minggu (24/11/2024). Dalam OTT tersebut, KPK menyita uang tunai dengan total sekitar Rp7 miliar, yang terdiri dari mata uang rupiah, dolar Amerika Serikat (USD), dan dolar Singapura (SGD).

“Total uang yang diamankan pada kegiatan tangkap tangan ini sejumlah total sekitar Rp7 miliar,” ungkap Alexander Marwata.

Langkah Hukum dan Sanksi yang Mengancam

Ketiga tersangka kini resmi ditahan untuk 20 hari ke depan, mulai 24 November hingga 13 Desember 2024, guna keperluan penyidikan lebih lanjut. Berdasarkan hasil penyidikan awal, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 Huruf e dan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal-pasal tersebut mengatur hukuman berat bagi pelaku korupsi yang menggunakan jabatannya untuk memeras, menerima gratifikasi, atau mendapatkan keuntungan secara ilegal. Jika terbukti bersalah, para tersangka menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

Kampanye Politik dan Korupsi

Kasus ini menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi, terutama menjelang pilkada. KPK mencatat bahwa praktik penggalangan dana secara ilegal sering kali terjadi menjelang pemilihan, dengan alasan untuk mendanai kampanye. Namun, tindakan ini merugikan keuangan negara dan menciptakan ketidakadilan dalam pemerintahan.

“Kami mengimbau seluruh masyarakat untuk lebih proaktif melaporkan jika menemukan praktik serupa, karena ini bukan hanya merusak demokrasi, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan,” pungkas Alexander.

Dengan pengungkapan kasus ini, KPK berkomitmen untuk terus menindak tegas segala bentuk korupsi, terutama yang melibatkan pejabat publik. Gubernur Bengkulu dan dua tersangka lainnya kini menjadi sorotan, sekaligus peringatan bagi semua pihak untuk menjunjung tinggi integritas dalam menjalankan amanah publik.


(Mond)

#KPK #Pemerasan #Hukum