Breaking News

Kementerian PPPA Usulkan Revisi UU Penghapusan KDRT, Perkuat Perlindungan Terhadap Korban

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Kelompok Rentan Kementerian PPPA, Eni Widiyanti. (Antara)


D'On, Jakarta -
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok yang menakutkan bagi banyak keluarga di Indonesia. Meskipun sudah 20 tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Penghapusan KDRT), kasus kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan rumah tangga masih menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Melihat kondisi ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) berencana mengusulkan revisi terhadap UU tersebut.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA, Eni Widiyanti, dalam pernyataannya pada Jumat (15/11/2024) di Jakarta, mengungkapkan bahwa rencana revisi ini diusulkan karena berbagai kelemahan yang ditemukan dalam penerapan undang-undang tersebut. Menurutnya, meskipun UU Penghapusan KDRT telah memberikan kerangka hukum untuk melindungi korban, implementasinya belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi atau mencegah kasus kekerasan.

"Kami melihat adanya urgensi untuk memperkuat undang-undang ini. Revisi diperlukan agar aturan yang ada lebih efektif dalam memberikan perlindungan bagi korban KDRT. Kami akan mengusulkan revisi ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berharap bisa segera masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)," kata Eni Widiyanti.

Angka Kekerasan dalam Rumah Tangga Masih Tinggi

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sebanyak 74% kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga. Menariknya, sebagian besar pelaku kekerasan tersebut adalah orang yang seharusnya menjadi pelindung, yakni suami (54%). Sisanya melibatkan mantan pacar (13%), serta anggota keluarga lainnya seperti orang tua, saudara, bahkan guru.

Statistik ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga menyentuh aspek kekerasan emosional, psikologis, hingga seksual. "Angka-angka ini tidak boleh dianggap sepele. Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah urusan pribadi semata, melainkan masalah yang harus mendapat perhatian serius dari semua pihak," tegas Eni.

Kendala Implementasi dan Tantangan Hukum

Eni mengungkapkan sejumlah kendala yang menghambat efektivitas UU Penghapusan KDRT. Salah satu isu utama adalah praktik penyelesaian kasus KDRT melalui jalur damai atau restorative justice. Banyak kasus yang pada awalnya dilaporkan ke polisi, akhirnya tidak dilanjutkan karena laporan dicabut oleh korban. Fenomena ini kerap terjadi karena tekanan dari keluarga atau rasa takut korban terhadap pelaku.

"Sering kali, kasus kekerasan yang dilaporkan kemudian dicabut oleh korban. Polisi, dalam hal ini, tidak bisa melanjutkan penyelidikan karena delik aduan. Padahal, kita tahu bahwa banyak kasus yang berakhir tragis setelah laporan dicabut. Korban tetap mengalami kekerasan, bahkan ada yang berakhir dengan kematian," kata Eni.

Sistem restorative justice, meskipun bertujuan untuk menyelesaikan masalah tanpa melalui jalur pengadilan, justru sering kali menjadi alat bagi pelaku untuk menghindari hukuman. Korban kerap merasa terpaksa berdamai karena tekanan sosial, ekonomi, atau ancaman dari pelaku, sehingga kasus KDRT terus berulang tanpa ada efek jera bagi pelaku.

Perlindungan bagi Semua Anggota Rumah Tangga

Salah satu fokus utama dalam revisi UU Penghapusan KDRT adalah memperluas cakupan perlindungan bagi seluruh individu yang tinggal dalam satu rumah tangga, termasuk mereka yang tidak memiliki status resmi dalam pernikahan, seperti istri siri. Eni menyoroti bahwa terdapat masalah dalam penafsiran hukum terkait perlindungan bagi istri dalam perkawinan siri.

"UU Penghapusan KDRT seharusnya memberikan perlindungan bagi siapa saja yang tinggal dalam satu rumah, tanpa terkecuali. Hal ini termasuk istri siri, pekerja rumah tangga, bahkan sopir atau tukang kebun. Namun, kenyataannya, perlindungan ini sering kali sulit diterapkan karena perbedaan penafsiran hukum," jelasnya.

Perkawinan siri, yang secara hukum tidak tercatat, menimbulkan tantangan tersendiri dalam penerapan undang-undang. Status hukum yang tidak jelas sering kali membuat korban kekerasan dalam hubungan seperti ini kesulitan mendapatkan perlindungan hukum yang seharusnya.

Kekerasan yang Meningkat dan Mengkhawatirkan

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus KDRT yang dilaporkan tidak hanya bertambah dalam jumlah, tetapi juga semakin parah dalam tingkat kekerasannya. Eni mengungkapkan bahwa pola kekerasan yang terjadi sering kali bersifat eskalatif. Kekerasan yang awalnya berupa kekerasan verbal atau pukulan ringan dapat meningkat menjadi kekerasan fisik yang lebih brutal, bahkan berujung pada penggorokan hingga kematian korban.

"Siklus kekerasan ini semakin mengkhawatirkan. Kami mencatat adanya tren peningkatan kekerasan yang sifatnya eskalatif. Korban yang sebelumnya hanya dipukul, pada akhirnya bisa saja mengalami kekerasan yang lebih parah hingga berakhir tragis. Ini menunjukkan bahwa undang-undang yang ada belum mampu mencegah atau menghentikan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga," kata Eni.

Upaya Revisi dan Harapan Perbaikan

Melalui rencana revisi ini, Kementerian PPPA berharap dapat menciptakan undang-undang yang lebih responsif dan adaptif terhadap dinamika kasus KDRT yang terus berkembang. Salah satu usulan yang mungkin diajukan adalah memperkuat mekanisme perlindungan bagi korban, termasuk penerapan sistem pengawasan yang lebih ketat bagi pelaku yang telah dilaporkan. Selain itu, revisi juga diharapkan mencakup aturan yang lebih jelas dan tegas mengenai penanganan kasus tanpa bergantung pada pencabutan laporan oleh korban.

"Kami berharap revisi ini bisa memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan dalam rumah tangga. Upaya ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa KDRT bukanlah masalah domestik semata, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang harus ditangani secara serius," pungkas Eni.

Langkah ini diharapkan dapat memperkuat posisi korban dalam mencari keadilan serta menciptakan efek jera bagi pelaku kekerasan, sehingga jumlah kasus KDRT di Indonesia dapat menurun secara signifikan.

(Mond)

#KDRT #KementerianPPPA #Nasional