Breaking News

Kenaikan PPN 12% Dikhawatirkan Memicu Kenaikan Harga Barang dan Lesunya Daya Beli Masyarakat

Seorang pedagang di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, menjual bawang dan berbagai sayuran lainnya pada Senin, 27 Mei 2024. (Beritasatu.com/Olena Wibisana)


D'On, Jakarta -
Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyuarakan kekhawatiran akan dampak kenaikan ini terhadap harga barang dan daya beli masyarakat, terutama pada kelas menengah ke bawah. Mereka mendesak agar kebijakan ini ditunda karena dikhawatirkan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berusaha bangkit pasca pandemi.

Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja, dalam konferensi pers di ICE BSD, Tangerang, pada Jumat (15/11/2024), mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini akan berdampak langsung pada harga produk di pasaran. Ia memaparkan bahwa kenaikan tarif pajak akan menyebabkan lonjakan harga berbagai barang, yang pada akhirnya akan menggerus daya beli masyarakat.

"Dengan naiknya PPN menjadi 12%, harga barang otomatis ikut naik. Hal ini tentu saja akan berdampak pada daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah yang sensitif terhadap kenaikan harga," ujar Alphonzus. Ia menambahkan bahwa konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, mencakup lebih dari 50% produk domestik bruto (PDB).

Konsumsi Rumah Tangga Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia dikenal sebagai negara dengan perekonomian berbasis konsumsi, di mana kontribusi konsumsi rumah tangga sangat signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 8% pada 2025, sebuah target ambisius yang memerlukan dukungan kuat dari sektor konsumsi.

Menurut Alphonzus, jika PPN dinaikkan menjadi 12% tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, daya beli masyarakat akan tertekan. Penurunan daya beli ini berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan tinggi. "Dengan tekanan ini, target pertumbuhan ekonomi semakin sulit dicapai, karena konsumsi yang merupakan mesin penggerak utama ekonomi akan terganggu," jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa saat ini perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19. Beberapa sektor, seperti pariwisata dan retail, masih dalam tahap pemulihan dan kenaikan PPN bisa menjadi beban tambahan yang memperlambat proses tersebut. "Kita belum mencapai kondisi ekonomi yang maksimal. Kenaikan PPN pada saat ini bisa memperberat kondisi ekonomi yang sudah berat," katanya.

Pemerintah Tetap Teguh dengan Rencana Kenaikan PPN

Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan tetap dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 2021. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR pada Kamis (14/11/2024), Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal negara dan mengantisipasi potensi krisis ekonomi di masa mendatang.

"Kebijakan perpajakan, termasuk kenaikan PPN ini, bukan diambil secara sembarangan. Kami telah mempertimbangkan sektor-sektor yang paling sensitif, seperti kesehatan dan kebutuhan pokok masyarakat," kata Sri Mulyani. Menurutnya, penyesuaian tarif PPN ini diperlukan untuk menambah penerimaan negara dan menjaga stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Ia juga menggarisbawahi bahwa pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan luar biasa terhadap anggaran negara, yang memaksa pemerintah untuk mencari tambahan pendapatan demi memperkuat kapasitas fiskal. Kenaikan PPN dianggap sebagai salah satu langkah paling efektif untuk menambah penerimaan tanpa harus memperlebar defisit yang sudah melebar akibat krisis pandemi.

Tantangan dan Proyeksi ke Depan

Keputusan pemerintah untuk tetap menaikkan PPN meski mendapat kritik menunjukkan tekad kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Namun, tantangan terbesar adalah memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan dampak negatif yang berlebihan terhadap konsumsi rumah tangga. Dalam beberapa tahun terakhir, daya beli masyarakat sudah mulai tertekan akibat inflasi dan peningkatan biaya hidup. Kenaikan harga barang, yang dipicu oleh kenaikan PPN, bisa memperparah situasi ini.

Ekonom Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) berpendapat bahwa kenaikan PPN ini dapat menjadi "double-edged sword". Di satu sisi, dapat menambah penerimaan negara dan memperkuat APBN, tetapi di sisi lain, berpotensi mengurangi konsumsi rumah tangga. "Dengan meningkatnya harga barang akibat kenaikan PPN, masyarakat kelas menengah ke bawah kemungkinan akan mengurangi belanja, dan ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi," ujar Bhima.

Sebagai respons, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai langkah mitigasi, seperti memberikan insentif atau bantuan sosial yang tepat sasaran, agar dampak kenaikan harga barang tidak terlalu membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, diperlukan upaya untuk menjaga inflasi tetap terkendali sehingga kenaikan PPN tidak langsung berimbas pada lonjakan harga yang signifikan.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12% merupakan kebijakan yang dipandang perlu oleh pemerintah untuk memperkuat stabilitas fiskal negara. Namun, tantangan yang muncul dari kebijakan ini tidak bisa dianggap remeh. Dampak potensialnya terhadap harga barang dan daya beli masyarakat memerlukan perhatian ekstra.

Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, kebijakan ini harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak menghambat pertumbuhan ekonomi yang telah direncanakan. Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menghadapi masa transisi ini, agar kebijakan kenaikan PPN dapat diterapkan tanpa mengorbankan daya beli dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

(Mond)

#KenaikanPPN #Nasional