Lisensi Rumah Makan Padang: Perlukah Standarisasi? LKAAM Sumbar Angkat Suara
D'On, Sumatera Barat - Di tengah meningkatnya sorotan publik, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat akhirnya buka suara terkait isu lisensi Rumah Makan Padang yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan. Perdebatan tentang lisensi ini mencuat setelah Ikatan Keluarga Minang (IKM) mengusulkan agar ada mekanisme perizinan khusus untuk Rumah Makan Padang guna menjaga kualitas dan autentisitas hidangan khas Minang di berbagai daerah.
Ketua LKAAM Sumatera Barat, Fauzi Bahar, menyatakan pihaknya akan segera duduk bersama IKM untuk membahas isu ini dengan cermat. Menurutnya, pembahasan lisensi Rumah Makan Padang perlu dilakukan secara mendalam agar tidak menciptakan kesalahpahaman atau keresahan di kalangan masyarakat.
“Kami berencana untuk membicarakan hal ini bersama dengan IKM, agar dapat diputuskan apakah penerbitan lisensi khusus Rumah Makan Padang benar-benar diperlukan atau tidak,” ujar Fauzi dalam keterangannya, Rabu (6/11/2024).
Dialog untuk Hindari Potensi Konflik
Fauzi menegaskan bahwa LKAAM memandang pentingnya dialog sebelum mengambil keputusan terkait lisensi tersebut. Ia mengakui bahwa penetapan lisensi bisa menjadi jalan menuju standarisasi yang akan menjaga kualitas serta identitas kuliner Padang. Namun, proses ini, katanya, harus dikelola secara hati-hati, terutama dalam menyusun kriteria dan syarat-syarat lisensi agar tidak menimbulkan kebingungan di kemudian hari.
Menurut Fauzi, tujuan dari wacana lisensi ini seharusnya bukan sekadar mengatur, tetapi juga melindungi keberagaman yang ada di balik tradisi kuliner Padang yang dikenal di seluruh Indonesia.
“Jika standarisasi memang dianggap perlu, maka kriterianya harus disusun dengan jelas dan terukur. Hal ini penting agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau dibingungkan oleh aturan yang diterapkan,” katanya. Fauzi juga menekankan, yang utama saat ini adalah menghindari kegaduhan dan memastikan proses pembahasan berjalan konstruktif.
Belajar dari Polemik di Cirebon
Mengambil pelajaran dari pengalaman serupa di Cirebon, Jawa Barat, Fauzi menekankan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan yang berpotensi memicu reaksi luas di masyarakat. Polemik di Cirebon itu sempat memicu kontroversi karena adanya perbedaan pandangan mengenai autentisitas kuliner, yang juga melibatkan diskusi antara pelaku bisnis dan pemerhati budaya lokal.
“Pengalaman di Cirebon bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua agar lebih berhati-hati sebelum mengambil langkah yang bisa memicu kontroversi,” kata Fauzi. Menurutnya, langkah apapun yang diambil harus berdasarkan masukan dan aspirasi dari seluruh pihak terkait, khususnya komunitas Minangkabau yang tersebar di berbagai daerah.
Menjaga Persatuan dan Ketenangan di Perantauan
LKAAM berperan besar dalam menjaga persatuan dan solidaritas masyarakat Minangkabau, baik di ranah maupun di rantau. Menurut Fauzi, polemik lisensi ini perlu disikapi dengan bijak agar tidak memecah belah komunitas Minang di perantauan yang selama ini hidup harmonis dan membaur dengan masyarakat setempat.
“Bagi kami, menjaga ketenangan suasana dan memelihara kebersamaan adalah hal yang paling utama. Kami berharap berbagai pihak bisa lebih tenang dan menjadikan dialog sebagai jalan menuju kesepakatan yang bijaksana,” tambahnya.
Ia mengajak semua pihak untuk menyambut wacana ini sebagai peluang untuk memperkuat eksistensi dan kualitas Rumah Makan Padang sebagai bagian dari warisan kuliner Indonesia. Pernyataan dari LKAAM ini diharapkan bisa menenangkan berbagai kalangan, sekaligus menjadi langkah awal menuju dialog yang konstruktif antara LKAAM dan IKM untuk menelusuri lebih lanjut manfaat lisensi ini.
Dengan demikian, LKAAM berharap, apapun keputusan yang diambil nantinya akan membawa manfaat yang baik bagi seluruh pihak, menjaga kualitas, dan juga memperkuat posisi kuliner Minang di ranah nasional maupun internasional.
(Mond)
#Kontroversi #LKAAM #SumateraBarat