Memahami 4 Siklus KDRT: Menyadari Tanda-Tanda dan Menghindari Menjadi Korban
Ilustrasi
Dirgantaraonline - Rumah seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi semua anggota keluarga. Sayangnya, bagi sebagian orang, rumah malah menjadi tempat yang penuh ketakutan akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Meski sering terjadi, KDRT masih sulit terungkap karena banyak korban yang belum menyadari bahwa mereka berada dalam pola kekerasan yang berulang.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 5.526 kasus KDRT di Indonesia pada tahun 2022. Namun, jumlah sebenarnya mungkin lebih tinggi karena banyak yang tidak melaporkannya. Pemahaman tentang pola siklus KDRT ini dapat membantu korban mengenali tanda-tanda dan mendorong mereka untuk keluar dari jerat kekerasan. Mari kita lihat lebih dekat siklus yang sering ditemukan dalam kasus KDRT.
Mengenal Siklus KDRT
Pada 1970-an, psikolog Lenore E. Walker memperkenalkan konsep siklus KDRT setelah melakukan wawancara dengan para korban. Ia menemukan bahwa ada empat fase yang terus berulang dalam hubungan KDRT, yang membuat korban terjebak. Siklus ini adalah:
1. Fase Ketegangan
Fase ini dimulai dengan meningkatnya ketegangan dalam hubungan, yang biasanya ditandai dengan perubahan sikap dan emosi pelaku. Pelaku KDRT sering kali menunjukkan tanda-tanda emosional seperti mudah marah, sulit bersabar, dan kerap meluapkan kemarahan tanpa alasan yang jelas. Pada awalnya, tindakan-tindakan agresif ini mungkin bersifat verbal atau emosional, namun seiring waktu, intensitas dan frekuensinya bisa semakin meningkat.
Pemicu fase ketegangan ini biasanya berasal dari hal-hal eksternal yang menjadi tekanan pada pelaku, seperti masalah ekonomi, konflik di tempat kerja, atau bahkan persoalan sehari-hari. Tanpa disadari, korban bisa mulai merasa harus “berhati-hati” dan merasa ketegangan yang meningkat, namun sering kali belum menyadari bahwa ini adalah tanda awal dari kekerasan yang lebih serius.
2. Fase Insiden
Pada tahap ini, pelaku mulai melakukan kekerasan secara terbuka untuk menunjukkan kontrol dan dominasinya terhadap korban. Kekerasan ini bisa berbentuk fisik, verbal, atau bahkan emosional, yang meninggalkan dampak mendalam pada psikologis korban. Bentuk-bentuk kekerasan yang biasa terjadi meliputi:
Intimidasi: Pelaku mungkin mengancam akan melakukan hal-hal yang lebih buruk, seperti mencelakai korban atau orang terdekatnya.
Kekerasan verbal: Hinaan, makian, dan kata-kata kasar yang melukai emosi korban.
Kekerasan fisik: Mulai dari dorongan ringan hingga pukulan yang melukai tubuh korban.
Manipulasi: Pelaku menggunakan cara-cara seperti gaslighting atau silent treatment, membuat korban merasa bersalah atau bingung.
Penyalahgunaan keuangan: Pelaku bisa mengontrol aspek keuangan, membuat korban sepenuhnya bergantung padanya.
Mengisolasi korban: Menghalangi korban dari bertemu teman atau keluarga sehingga korban merasa sendirian.
Dalam fase ini, korban mungkin merasa terjebak dan tidak tahu bagaimana cara melarikan diri. Trauma yang dialami di tahap ini sering membuat korban merasa tidak berdaya dan takut mencari bantuan.
3. Fase Rekonsiliasi
Setelah kekerasan terjadi, pelaku biasanya memasuki fase rekonsiliasi di mana ia akan menurunkan tensi dan sering kali berusaha memperbaiki hubungan. Dalam fase ini, pelaku bisa menunjukkan rasa penyesalan dengan meminta maaf, berjanji untuk berubah, dan bahkan menghujani korban dengan perhatian yang berlebihan.
Beberapa pelaku mungkin melakukan hal-hal romantis, memberi hadiah, atau berkata bahwa mereka tidak akan melakukan kekerasan lagi. Korban yang telah mengalami kekerasan pada fase sebelumnya sering kali merasakan kelegaan sementara dan percaya bahwa pelaku benar-benar ingin memperbaiki hubungan. Namun, fase ini hanya sementara dan sering kali merupakan cara pelaku untuk mempertahankan kontrol atas korban.
4. Fase Tenang
Di fase ini, hubungan mungkin tampak normal dan damai. Pelaku akan berusaha untuk menunjukkan sikap yang seolah-olah telah berubah dan ingin memperbaiki hubungan. Namun, dalam banyak kasus, fase tenang ini hanyalah jeda sebelum siklus kembali berulang. Pada titik ini, pelaku bisa memanfaatkan perasaan korban untuk membuat mereka tetap berada dalam hubungan dengan cara-cara manipulatif, seperti:
Menyalahkan pihak lain atas tindak kekerasannya, sering kali dengan mengatakan bahwa korban atau situasi tertentu yang membuatnya marah.
Membenarkan tindakannya dengan alasan-alasan yang seolah-olah masuk akal, misalnya dengan berkata, “Aku hanya marah karena kamu tidak mendengarkan.”
Meremehkan kekerasan yang telah terjadi, misalnya dengan mengatakan bahwa kejadian tersebut bukanlah masalah besar.
Siklus ini membuat korban kebingungan dan kehilangan kendali atas kehidupan mereka. Fase tenang ini hanyalah awal dari siklus baru, yang akan kembali ke fase ketegangan dan berulang.
Mencegah dan Melaporkan
Memahami siklus KDRT dapat menjadi langkah awal bagi korban untuk menyadari pola yang ada dalam hubungan mereka dan menguatkan diri untuk mencari pertolongan. Keluar dari siklus ini bukanlah hal mudah, tetapi penting untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau bahkan pihak berwenang agar dapat melepaskan diri dari hubungan yang penuh kekerasan.
Bagi siapa pun yang menyadari tanda-tanda siklus ini dalam hubungan mereka atau hubungan orang lain, melaporkan ke pihak berwajib atau mencari bantuan profesional sangat penting. Kesadaran adalah kunci agar korban tidak terus terjebak dan dapat memutuskan siklus KDRT untuk hidup yang lebih sehat dan aman.
(Rini)
#KDRT #Gayahidup #Lifestyle #HubunganRumahTangga #Keluarga