Nasib RUU Larangan Konsumsi Daging Anjing-Kucing: Antara Aspirasi Perlindungan Hewan dan Budaya Lokal
D'On, Jakarta – Diskursus mengenai perlindungan hewan domestik kembali mencuat setelah Yayasan JAAN Domestic Indonesia, sebuah organisasi non-pemerintah yang fokus pada kesejahteraan hewan, mengusulkan agar DPR RI memasukkan regulasi pelarangan konsumsi daging anjing dan kucing ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Namun, meski masuk daftar, Rancangan Undang-Undang (RUU) ini tidak dianggap prioritas.
Regulasi yang diusulkan dengan tajuk RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing awalnya bertujuan untuk memberikan perlindungan lebih bagi hewan-hewan yang sering dianggap sebagai sahabat manusia. Namun, perjalanan usulan ini menghadapi kendala sejak tahap awal. Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg), terdapat protes keras dari sejumlah anggota, termasuk Firman Soebagyo.
Pada akhirnya, Baleg menyetujui usulan RUU, tetapi dengan perubahan signifikan. Judul RUU yang diajukan ke paripurna dan disetujui hanya berbunyi: RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, tanpa menyertakan klausul spesifik mengenai larangan konsumsi atau perdagangan daging anjing dan kucing.
Masuk Long List, Bukan Prioritas
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menjelaskan bahwa regulasi yang mengatur larangan konsumsi dan perdagangan daging anjing dan kucing tetap memerlukan kajian mendalam. Karena itu, meskipun RUU ini telah masuk dalam Prolegnas 2025-2029, posisinya berada di kategori long list. Artinya, RUU ini belum dianggap mendesak untuk dibahas dalam waktu dekat.
“Itu masuk ke long list, artinya masuk jangka menengah untuk 2025-2029. Masih perlu kajian lebih lanjut dan pendalaman,” ujar Bob Hasan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11).
Politikus Partai Gerindra ini menegaskan bahwa pembahasan lebih lanjut diperlukan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Menurutnya, keberagaman pandangan masyarakat menjadi salah satu tantangan besar dalam membawa RUU ini ke tahap prioritas.
“Belum diputuskan untuk prioritas. Long list itu artinya masih perlu pemantapan kembali sebelum melangkah lebih jauh,” tambahnya.
Dalam Prolegnas 2025-2029, terdapat total 176 RUU yang sudah disetujui dalam sidang paripurna hari ini. Dari jumlah tersebut, 41 RUU masuk kategori prioritas, sementara lima lainnya termasuk dalam kategori kumulatif terbuka, yang berarti akan menjadi fokus utama pembahasan pada 2025. Sisa RUU, termasuk RUU perlindungan hewan domestik ini, menunggu kesiapan lebih lanjut untuk bisa diangkat ke pembahasan intensif.
Kontroversi di Balik Usulan
Salah satu penentangan keras terhadap usulan ini datang dari Firman Soebagyo, anggota Baleg DPR RI. Dalam rapat perumusan daftar long list Prolegnas 2025-2029 yang digelar Senin (19/11), Firman mempertanyakan urgensi regulasi yang dianggap tidak sejalan dengan realitas sosial-budaya di Indonesia.
Menurut Firman, kebiasaan masyarakat di beberapa daerah yang masih mengonsumsi daging anjing dan kucing merupakan cerminan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Ia menilai usulan tersebut tidak relevan jika dipaksakan.
“Saya bukan pemakan anjing, tapi saya tahu bahwa di Indonesia dengan keberagaman dan kebinekaan yang ada, ada beberapa daerah yang memang mengonsumsi anjing. Kalau kita bicara soal kesejahteraan hewan, ini penting, tapi soal pelarangan konsumsi dan perdagangan daging anjing dan kucing, ini menurut saya tidak perlu,” ujar Firman.
Firman menekankan bahwa setiap regulasi harus mempertimbangkan aspek budaya lokal agar tidak menimbulkan gesekan sosial. “Kita ini negara yang beragam, dan kebijakan seperti ini perlu hati-hati, jangan sampai justru menjadi polemik di masyarakat,” tambahnya.
Dilema Perlindungan Hewan vs Tradisi Lokal
Polemik ini menggambarkan dilema besar dalam pengaturan perlindungan hewan domestik di Indonesia. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk melindungi anjing dan kucing dari kekerasan, eksploitasi, dan perdagangan yang tidak manusiawi. Data dari berbagai organisasi pecinta hewan menunjukkan bahwa konsumsi daging anjing dan kucing sering kali melibatkan praktik kekerasan ekstrem, mulai dari penyiksaan hingga pembantaian massal di pasar-pasar tradisional tertentu.
Namun, di sisi lain, beberapa kelompok masyarakat menganggap konsumsi daging anjing sebagai bagian dari tradisi kuliner lokal. Di beberapa daerah, seperti Sulawesi Utara, daging anjing (yang dikenal dengan istilah “RW”) merupakan makanan khas yang memiliki akar budaya panjang.
Langkah Selanjutnya
Meski saat ini masuk dalam daftar panjang, pendukung RUU ini, termasuk Yayasan JAAN Domestic Indonesia, berharap ada langkah nyata dari DPR untuk tetap memperjuangkan regulasi ini. Mereka menegaskan bahwa isu ini bukan hanya soal budaya, melainkan juga mengenai etika, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan hewan.
“Perdagangan dan konsumsi daging anjing dan kucing melibatkan risiko kesehatan yang serius, termasuk potensi penyebaran rabies. Selain itu, praktik ini sering kali melibatkan kekejaman yang tidak dapat ditoleransi,” kata perwakilan Yayasan JAAN.
Akankah RUU ini mendapat tempat di hati legislator dan masyarakat? Atau justru akan tergilas oleh perdebatan budaya dan kepentingan politik? Waktu akan menjawab. Untuk saat ini, perlindungan hewan domestik masih menjadi perjalanan panjang yang membutuhkan keberanian dan konsensus bersama.
(Mond)
#Prolegnas #DPR #Nasional