Penangkapan Pendiri Sriwijaya Air, Hendry Lie, Terkait Kasus Korupsi PT Timah: Strategi Penangkapan dan Upaya Pengembalian Aset Negara
D'On, Jakarta - Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) telah melakukan penahanan terhadap Hendry Lie, seorang tokoh penting dalam dunia penerbangan Indonesia yang dikenal sebagai pendiri maskapai Sriwijaya Air. Penahanan ini dilakukan setelah penetapan Hendry Lie sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait PT Timah. Ia resmi ditahan pada 15 April 2024, setelah melalui serangkaian penyelidikan yang dilakukan oleh aparat hukum.
Rangkaian Penangkapan dan Perjalanan Kasus
Menurut informasi yang diperoleh, Hendry Lie diduga terlibat dalam praktik korupsi melalui perusahaan PT Trinido Internusa dengan total kerugian negara mencapai Rp1,059 miliar. Dalam struktur perusahaan tersebut, Hendry Lie diketahui memiliki peran sebagai penerima manfaat atau official benefits, yang membuatnya terlibat secara langsung dalam pengelolaan dan penerimaan dana yang kini menjadi objek penyelidikan.
Pada malam penangkapannya, reporter Tirto yang memantau di Gedung Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, mencatat Hendry Lie tiba pada pukul 23.12 WIB. Ia dibawa menggunakan mobil tahanan dengan pengamanan ketat. Meski tangannya diborgol, ia tidak mengenakan rompi tahanan, sebuah pemandangan yang menimbulkan berbagai spekulasi mengenai status penahanannya.
"Kerja sama yang baik antara tim Jaksa Agung Muda Intelijen dan Atase Kejaksaan di Singapura telah membuahkan hasil dengan penangkapan Hendry Lie di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 22.30 WIB," ungkap Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers yang digelar pada dini hari, Selasa (19/11/2024).
Upaya Ekstradisi dan Pencekalan
Hendry Lie diketahui sempat pergi ke Singapura setelah menjalani satu kali pemeriksaan sebagai saksi. Setelah keberangkatannya, pihak penyidik Kejaksaan Agung segera mengambil langkah cepat dengan melakukan pencekalan dan mencabut paspornya melalui pihak Imigrasi. Informasi mengenai keberadaannya di Singapura didapatkan melalui koordinasi internasional yang melibatkan Kedutaan Besar Indonesia di Singapura.
"Kami telah melakukan penarikan paspor melalui surat resmi ke Kedutaan Besar di Singapura. Kebetulan, paspor Hendry Lie akan berakhir pada 27 November 2024, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk memperpanjang paspor di sana," jelas Abdul Qohar. Langkah ini merupakan bagian dari strategi penegakan hukum untuk memastikan tersangka tidak melarikan diri dan menghindari jeratan hukum di Indonesia.
Pihak penyidik sengaja merahasiakan rencana kepulangan Hendry Lie ke Indonesia guna menghindari kebocoran informasi yang dapat mengganggu proses penangkapan. Langkah diam-diam ini dinilai efektif mengingat situasi yang cukup sensitif serta risiko yang tinggi dalam penanganan kasus korupsi berskala besar seperti ini.
Penahanan dan Penyitaan Aset
Setelah dilakukan pemeriksaan selama kurang lebih satu jam setibanya di Gedung Kartika, Hendry Lie langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, cabang Kejari Jakarta Selatan. Penahanan awal ini akan berlangsung selama 20 hari ke depan, sebagai bagian dari proses penyidikan lebih lanjut.
Tidak hanya itu, Kejaksaan Agung juga mengintensifkan upaya penelusuran aset Hendry Lie selama ia berada di luar negeri. Hingga saat ini, beberapa aset bernilai tinggi milik Hendry Lie telah disita oleh pihak berwenang. Penyitaan tersebut meliputi tanah, bangunan, dan villa yang berada di kawasan wisata populer, Bali. Langkah penyitaan ini menjadi bukti keseriusan Kejaksaan Agung dalam mengembalikan kerugian negara serta mengamankan hasil kejahatan yang diperoleh melalui praktik korupsi.
Pasal yang Dikenakan dan Ancaman Hukuman
Dalam kasus ini, Hendry Lie dijerat dengan sejumlah pasal berat, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, penyidik juga menambahkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengatur tentang keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana.
Pasal-pasal tersebut memberikan ancaman pidana yang cukup berat bagi tersangka. Jika terbukti bersalah, Hendry Lie dapat dijatuhi hukuman penjara yang cukup lama serta dikenai denda yang besar sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya. Penerapan pasal ini diharapkan mampu memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran bagi pelaku korupsi lainnya di Indonesia.
Proses Hukum yang Terus Bergulir
Kasus korupsi PT Timah ini menjadi salah satu kasus besar yang ditangani Kejaksaan Agung pada tahun 2024. Penahanan Hendry Lie menambah daftar panjang tersangka yang terlibat dalam kasus korupsi di sektor pertambangan dan industri yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Selama proses hukum berlangsung, masyarakat diharapkan terus memantau perkembangan kasus ini sebagai bagian dari upaya penegakan hukum yang transparan. Pihak Kejaksaan Agung sendiri menyatakan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini dengan adil dan tuntas, termasuk dalam upaya pengembalian aset negara yang telah diselewengkan.
Penangkapan ini menandai babak baru dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Keberhasilan dalam membawa pulang Hendry Lie dari Singapura memperlihatkan kemampuan dan kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum Indonesia dengan otoritas luar negeri dalam menangani kasus-kasus korupsi lintas negara. Hal ini memberikan harapan bahwa langkah serupa dapat diambil dalam kasus-kasus lainnya, di mana pelaku berusaha melarikan diri dan bersembunyi di luar negeri untuk menghindari proses hukum.
Dengan tertangkapnya Hendry Lie, perhatian publik kini tertuju pada kelanjutan penyelidikan dan proses peradilan yang akan dijalaninya. Akankah kasus ini menjadi titik balik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia? Hanya waktu yang akan menjawab.
(Mond)
#Kejagung #Korupsi #KorupsiTimah